Kebutuhan Publik dan Karakter Media - So Behind The Microphone

Headlines Articles

Wednesday, November 16, 2011

Kebutuhan Publik dan Karakter Media

Kalau sedang mau mendengarkan radio atau punya waktu untuk menonton televisi, maka yang pertama saya lakukan ketika TV saya nyalakan adalah switching alias scanning mengganti-ganti saluran televisi kita atau juga gelombang radio kita, mencari siaran yang cocok untuk diikuti. Kesan yang saya tangkap adalah bahwa acara-acara televisi ataupun acara siaran radio kita terkesan sama, mirip saja dari satu stasiun ke stasiun lain. Akhirnya, itu membuat saya memutuskan untuk mematikan TV dan pindah ke aktivitas lain, misalnya, browsing internet. atau membaca buku.

Nah, saya yakin hal yang demikian terjadi bukan hanya pada saya, juga pada banyak orang lain. Kemudian ketika Nielsen mengadakan survey, keluarlah data bahwa pendengar radio atau penonton televisi menurun, beralih kepada media sosial atau internet.

Bukan internet, bukan media lain.

Mungkin saya orang yang paling tidak percaya bahwa media massa yang lebih baru akan bisa mematikan media massa yang terdahulu. Dulu di tahun 1950-an ketika TV lahir orang mengira radio akan mati, tenyata tidak! Sekarang, kenyataannya sudah banyak penerbit surat kabar yang gulung tikar di Amerika Serikat, yang katanya, gara-gara orang lebih senang membaca berita dari internet. Apalagi internet sekarang sudah bisa diakses melalui mobile phone saja. Tapi menurut saya, itu tidak membuktikan apa-apa.

Ketika 20 tahun yang lalu, video-player / DVD muncul, juga orang-orang mengatakan bahwa bioskop akan gulung tikar, kenyataannya tetap saja orang pergi ke bioskop untuk menonton film. Pada dasarnya setiap media mempunyai karakter sendiri-sendiri, yang masing-masing mempunyai kekhasan untuk dinikmati oleh publik.

Jadi, tidak mungkin karakter internet bisa 100% menggantikan karakter radio dalam melayani kebutuhan pendengarnya. Tidak mungkin pula internet bisa 100% menggantikan karakter surat kabar untuk melayani kebutuhan pembacanya. Prinsipnya tidak mungkin ada media yang bisa menggantikan 100% karakter media lain dalam melayani kebutuhan publiknya.

Jadi kalaupun ada yang mengatakan bahwa surat kabar “A” mati karena internet, saya tanya, kenapa sampai sekarang masih banyak saja surat kabar yang tidak bangkrut dan bahkan meningkat pembacanya? Kalau dikatakan pendengar radio turun karena banyaknya jumlah televisi swasta, lalu kenapa masih ada saja radio yang jumlah pendengarnya meningkat?

Optimalkan Karakter Media

Saya tidak akan membahas lagi tentang karakter media, karena sudah banyak sekali saya menulis tentang ini di waktu-waktu yang lalu. Tapi saya ingatkan sekali lagi, jangan merubah diri menjadi media lain tapi optimalkan karakter yang ada di media yang kita miliki. Itu satu-satunya cara untuk tetap survive dan exist.
Misal, kalau surat kabar “Kompas” mau adu cepat berita, sudah pasti kalah cepat dengan “detik.com”. Tapi saya hanya masuk ke detik.com kalau ingin melihat “ada kejadian apa saat ini?”. Itu pun saya akses dari smartphone saja.

Tetapi untuk tahu lebih dalam, pasti saya akan baca surat kabar “Kompas” esok paginya, menikmati ulasan / tulisan dari para pakar yang mengungkap latar belakang peristiwa tersebut. Kebutuhan saya akan wawasan yang mendalam, disajikan dengan panjang-lebar oleh para pakar melalui Kompas. Dengan demikian, baik surat kabar “Kompas” maupun internet “detik.com”, kedua-duanya saya gunakan. Maka tidak mungkinlah surat kabar “Kompas” kehilangan saya sebagai pembacanya hanya karena saya sudah lihat “detik.com”, bukan?

Begitu pula seharusnya radio, televisi, atau media apapun. Perhatikan apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh publik, lalu sampaikan dengan mengoptimalkan keunggulan karakter medianya.

Kebutuhan Publik

Ini juga salah satu hal yang sampai sekarang, bagi banyak orang media, masih belum cukup mendalam pemahamannya, tapi sangat populer karena amat mudah pelaksanaannya. Kalau berbicara kebutuhan publik biasanya yang dilakukan adalah melakukan survey untuk tahu apakah acara ini disukai atau tidak, atau (kalau radio) lagu ini disukai atau tidak. Setelah survey selesai maka dibuatlah acara seperti yang dinyatakan di survey, atau (kalau radio) disusunlah sederetan lagu sesuai apa yang dikatakan dalam survey untuk dijadikan playlist (jadwal putar).

Malah lebih banyak lagi radio dimana penyiarnya setiap kali siaran meminta pendengar untuk mengirimkan SMS atau BBM opini untuk suatu topik tertentu, kemudian opini itu dijadikan topik atau bahan siaran mereka. Seolah-olah dengan demikian itulah yang merupakan kebutuhan publiknya.

Kalau halnya seperti ini, mudah sekali bukan? Artinya semua stasiun radio atau televisi bisa melakukan seperti itu, bukan? Dengan demikian semua stasiun radio dan stasiun televisi akan sukses kalau melakukan itu, bukan?

Pada tahun 1976 ketika air-putih dalam kemasan botol yang namanya “Aqua” baru akan lahir ke Indonesia, dilakukan survey utk mengetahui apakah masyarakat akan mau/menyukai “air minum dalam botol”? Hasil survey menunjukkan bahwa mayoritas tidak ada yang mau membeli air minum dalam botol, karena bukankah setiap orang bisa masak air untuk minum, bukan?

Tapi sejarah membuktikan bahwa Aqua sukses. Air minum dalam kemasan sangat laku, dibeli oleh masyarakat untuk minum. Pada tahun-tahun itu tidak satu pun hasil survey yang dapat mendukung untuk lahirnya Aqua, kecuali keyakinan pemiliknya karena telah melihat keberhasila bisnis ini di luar negeri. Jadi jelas kesimpulan survey tersebut salah. Karena survey tersebut hanya menghasilkan kesimpulan tentang “keinginan” (atau dalam hal ini “ketidak-inginan” masyarakat untuk membeli air minum dalam botol). Padahal “ketidak-inginan” itu muncul karena masyarakat belum terlalu mengenal “air-minum dalam botol”. Hasil survey mengenai air minum dalam botol di tahun itu, tidak dapat menyimpulkan “kebutuhan”-nya, melainkan hanya “keinginan-nya”.

Hampir semua hasil survey yang digunakan oleh TV & Radio kita untuk menjadi referensi membuat sebuah acara siaran, selalu dilakukan dari hal yang sudah ada. Artinya, survey tersebut mencerminkan apa yang disukai masyarakat pada saat sekarang ini. Stasiun televisi dan stasiun radio yang hanya memberikan “keinginan” (yang masyarakat sudah kenal sebelumnya), dan bukannya “kebutuhan” (sesuatu yang mungkin masih belum ada, tapi dibutuhkan masyarakat), tidak akan pernah berhasil menghasilkan pembaharuan.

Memberikan saja apa yang diinginkan, memang menyebabkan secara instant media itu mengalami peningkatan jumlah audience-nya. Tetapi itu tidak akan berlangsung lama. Apalagi keberhasilan itu pasti akan diikuti oleh para pesaing, karena formulanya mudah sekali, bukan? Itulah sebabnya secara umum akhirnya, acara-acara televisi atau radio jadi mirip-mirip semua, ini yang lama-lama menyebabkan kebosanan. Kita jadi bosan untuk menonton TV, bosan mendengarkan Radio. Tak heranlah kalau lama-lama masyarakat jadi beralih ke Internet, media yang dapat memberikan apa yang dibutuhkan, disamping juga memberikan apa yang diinginkan, pada saat dimana kebutuhan / keinginan itu muncul.

No comments:

Post a Comment