Ganti chanel dan mematikan TV ? tidak cukup - So Behind The Microphone

Headlines Articles

Sunday, December 18, 2011

Ganti chanel dan mematikan TV ? tidak cukup



Dalam diskusi menyikapi buruknya tayangan televisi, tidak serta merta kita menyederhanakan masalah dengan mengatakan: “Kalau tidak suka tinggal pindah channel saja”, atau “Matikan saja tivinya, selesai…Kok repot-repot!”. Persoalanya tentu bukan bagaimana kekuasaan penonton dalam menentukan atau menolak tayangan itu, melainkan hak dan kewajiban pengelola televisi yang menggunakan spektrum frekuensi milik publik (khususnya bagi stasiun televisi dengan sistem free to air-bukan berlangganan dengan sistem kabel). Logika sederhana argumen tersebut seolah-olah menempatkan tidak bolehnya orang membuat polusi udara di sebuah lingkungan dan kita ingin mengatakan: “Pindah saja dari sana. Gitu saja kok repot”.

Televisi swasta di Indonesia adalah media yang menggunakan public domain [2], regulasinya sangat berbeda dengan media yang tidak menggunakan public domain (misalnya, buku, majalah, suratkabar, dan film-kecuali jika disiarkan melalui televisi). Di negara demokrasi manapun, jika suatu media menggunakan public domain, maka regulasinya sangat ketat. Ini karena ketika seseorang atau suatu badan telah diberi izin mengelola frekuensi (yang notabene sangat terbatas), maka sebenarnya ia telah diberi hak monopoli oleh negara untuk menggunakan frekuensi tersebut dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian, berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus, yaitu peraturan perundang-undangan di bidang penyiaran.

Dalam kaitan ini, regulasi terhadap radio dan televisi berlangsung sangat ketat. Di Amerika Serikat misalnya, regulatornya adalah “Federal Communications Commission” (FCC). Sementara itu di Afrika Selatan regulatornya adalah “Independent Communication Authority of South Africa” (ICASA), dan banyak lagi lembaga semacam itu di negara demokrasi di dunia. Regulator di negara-negara demokrasi ini adalah badan independen negara yang bersifat “quasi judicial”. Untuk Indonesia, regulatornya adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang berhubungan dengan isi, dan Pemerintah, dalam hal ini Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo), yang berhubungan dengan penggunaan frekuensi dan pemberian izin penyiaran.

Secara filosofis, ada beberapa alasan penting mengapa media yang menggunakan public domain regulasinya berbeda dengan media yang tidak menggunakan public domain.[3] Pertama, alasan utama jelas karena media tersebut menggunakan public domain, barang publik. Oleh karenanya, harus diatur secara ketat. Frekuensi adalah milik publik yang dipinjam sementara oleh lembaga penyiaran yang harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Dengan kata lain, pengaturan tersebut ditujukan untuk kemanfaatan publik yang luas, bukan hanya perorangan atau kelompok.

Kedua, public domain mengandung prinsip scarcity (scarcity theory). Scarcity theory ini menegaskan bahwa frekuensi yang berasal dari spektrum gelombang radio itu adalah ranah publik yang terbatas. Permintaan frekuensi jauh lebih banyak dari yang tersedia. Meskipun teknologi maju mampu membuat frekuensi dimanfaatkan lebih banyak saluran siaran, tapi ia tetap terbatas, apalagi di Indonesia sekarang ini teknologi maju tersebut belum dipergunakan secara meluas. Itulah juga sebabnya izin frekuensi untuk penyiaran itu mempunyai masa waktu yang terbatas, dapat 10 atau 15 tahun, meskipun dapat diperpanjang. Dalam pengaturan spektrum frekuensi yang terbatas tersebut dibutuhkan wasit yang adil dan demokratis untuk menjamin tersedia, terdistribusikan dan terawasinya ranah publik tersebut.

Ketiga, sifatnya yang pervasif (pervasive presence theory). Pervasive presence theory menjelaskan bahwa program siaran media elektronik memasuki ruang pribadi, meluas dan tersebar secara cepat ke ruang-ruang keluarga tanpa diundang. Ketika seseorang membaca koran, misalnya, maka kontrol atas apa yang dibaca dan dimana membacanya akan sangat tergantung pada si pembaca. Namun, media-media yang menggunakan public domain karena sifatnya yang pervasif, muatan isi media hampir tidak bisa kita kontrol oleh siapapun. Media ini juga bisa hadir dimana-mana dalam ruang dan waktu yang tidak terbatas. Oleh karena itulah, perlu ada regulasi untuk media-media yang menggunakan public domain, logika ini senada dengan udara yang tercemar polutan apda ilustrasi awal tulisan ini.

Di sisi lain, media penyiaran dikontrol ketat pada dua wilayah dan alasan.[4] (1) wilayah isi dikontrol karena ada alasan politik dan budaya (political and moral/cultural reasons). (2) wilayah infrastruktur, terutama frekuensi dikontrol karena alasan ekonomi dan teknologi (technical and economic reasons). Berpijak pada pemikiran ini maka regulasi idealnya harus mencakup tiga prinsip; yaitu: pertama, memastikan bebasnya gangguan interferensi antarfrekuensi; kedua, memastikan terjadinya pluralitas politik dan budaya dalam isi siaran; dan ketiga menyediakan masyarakat apa yang mereka butuhkan dalam dunia penyiaran yang menganut sistem ”pasar bebas terbatas”.

Bagaimanakah sistem penyiaran yang demokratis? Sistem penyiaran demokratis bercirikan perlindungan kepentingan publik, pluralitas, dan kompetisi yang setara antar sesama institusi penyiaran. Sistem penyiaran yang fungsional bagi proses demokratisasi adalah yang mampu menciptakan public sphere. Dari sini filosofi keragaman kepemilikan (diversity of ownership) dan keragaman isi (diversity of content) yang populer dalam studi mengenai media penyiaran berakar. Bila tidak, akan terjadi monopoli informasi dan monopoli media yang memunculkan otoritarianisme baru oleh modal dan segelintir orang, yang pada gilirannya akan memasung demokrasi.[5]

Media seseunggguhnya merupakan bagian dari ruang publik (public sphere) yang memungkinkan terjadinya pertukaran informasi dan pandangan yang berkait dengan kepentingan orang banyak sehingga dapat menyuarakan opini publik. Ruang publik akan terjadi ketika warga masyarakat menggunakan haknya untuk berkumpul atau mengeluarkan pendapatnya yang mereka anggap penting. Sebuah ruang publik semestinya dijaga dari berbagai pengaruh dan kepentingan. Dalam konteks public sphere, media selayaknya menjadi the market places of ideas, tempat penawaran berbagai gagasan. Lebih lanjut, keberadaan lembaga penyiaran publik di banyak negara dipercaya mampu membangun democratic culture. Potensi demikian dapat terwujud jika media penyiaran dikelola dengan memberikan ruang untuk kebebasan berekspresi, debat terbuka, peluang akses yang adil serta menjadi arena negosiasi bagi publiknya.][6]

Penyalahgunaan frekuensi publik ini dalam praktik penyiaran di Indonesia terlihat dengan banyaknya permasalahan yang muncul berkaitan dengan pelanggaran isi siaran. Dalam sistem penyiaran yang demokratis, isi siaran harus didasarkan demi kepentingan publik, bukan semata-mata kepentingan pribadi dalam urusan bisnis atau politik. Ide dasar seperti ini muncul dari kesadaran bersama bahwa lembaga penyiaran merupakan media komunikasi massa yang mempunyai peran penting dalam kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi, memiliki kebebasan dan tanggungjawab dalam menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol dan perekat sosial. Pada sisi lain, siaran yang dipancarkan dan diterima secara bersamaan, serentak dan bebas, memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan pendapat, sikap, dan perilaku khalayak. [Dimas.a.prast.]

[1] Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, peneliti di Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP) dan Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2MEDIA)Yogyakarta.
[2] Istilah public domain sering disebut basic state property, essential facility, atau limited resources.
[3] Dominick, Joseph R., Fritz Messere, dan Barry L Sherman, Broadcasting, Cable, the Internet, and Beyond 5th Edition (Boston: McGraw Hill, 2004), hal. 230.
[4] Masduki, ”Kontroversi Regulasi Penyiaran di Indonesia”. Jurnal Komunikasi Universitas Islam Indonesia, Volume 1, Nomor 1, (Oktober 2006), hal. 55.
[5] Amir Effendi Siregar dalam pengantar buku Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi. Iwan Awaluddin Yusuf., et.al., (Yogyakarta: Pr2Media dan FES, 2010), hal xiii-xiv.
[6] Peter Golding dan Graham Murdock , sebagaimana dikutip James Curran, Michael Gurevitch, dan Janer Woollacott (eds.). Mass Media and Society (London: Edward Arnold,  1997), hal. 95

No comments:

Post a Comment