Mencampuradukkan Fakta dan Opini? - So Behind The Microphone

Headlines Articles

Saturday, December 17, 2011

Mencampuradukkan Fakta dan Opini?

sumber foto: http://www.claremontportside.com



Opinisasi adalah memasukkan pendapat pribadi wartawan ke dalam sebuah berita, alih-alih memaparkan fakta. Opinisasi juga berarti pencampuran antara fakta dan pendapat wartawan sehingga mengaburkan fakta jurnalistik yang sebenarnya. Dalam konsepsi baku jurnalisme, pemberian opini merupakan hal yang dilarang karena tugas wartawan pada dasarnya hanyalah melaporkan fakta. Interpretasi berbeda dengan opinisasi. Interpretasi menggunakan logika, penalaran, bahkan metodologi, sementara opinisasi terjadi karena kebiasaan memberikan penilaian, menghakimi, keinginan untuk membela kepentingan tertentu, sampai opini yang sengaja dimunculkan untuk membumbui sebuah cerita menjadi sensasional.

Praktik opinisasi sering dijumpai pada berita-berita yang ditampilkan dalam koran kuning. Contoh opinisasi dalam koran kuning dapat dilihat dari kutipan: “Malang nian nasib janda tua ini. Saat merebus mie di rumahnya…ia terjatuh lalu menyenggol kompor hingga tubuhnya terbakar, dst” (Pos Kota, 27 Juli 2004). Kalimat pertama jelas merupakan opini wartawan. Fakta baru dipaparkan pada kalimat kedua dan seterusnya. Contoh serupa juga terdapat berita Meteor,1 Agustus 2008 berjudul “Saatnya Anggota DPR Mandi Junub, Hartanya Najis Hidupnya pun Najis” dengan lead sebagai berikut. “Skandal korupsi berjamaah yang melibatkan seluruh anggota Komisi IX DPR periode 1994-2004 benar-benar menjijikkan. Anggota DPR sudah coreng moreng dengan korupsi. Main perempuan dari korupsi. Badannya pun najis. Karena itu, sudah saaatnya mereka mandi junub”.

Judul dan lead berita tersebut jelas merupakan opini yang berasal wartawan. Dalam kasus ini seharusnya wartawan tidak perlu berpendapat atau “menjadi juru dakwah” terlebih dulu, tetapi tugasnya adalah melaporkan fakta, bukan menulis opini.

Praktik pencampuran fakta dan opini dalam berita dapat dijumpai pada judul, lead, dan body berita. Tulisan ini memaprkan contoh-contoh pencampuran fakta dan opini pada dua koran kuning yang menjadi market leader di Indonesia, yakni Lampu Merah (kini Lampu Hijau) dan Poskota.
Opinisasi yang ditampilkan pada judul headline Lampu Merah (LM) umumnya terlihat dari cara penulisan judul yang disertai opini pribadi dari wartawan/editor. Terkadang juga tampak dari adanya pencampuran antara fakta dan opini sehingga mengaburkan fakta yang sebenarnya ingin diberitakan. Bentuk-bentuk opinisasi judul Lampu Merah antara lain terlihat dalam contoh berikut.
Jangan Nongkrong Sendirian di Lapangan Mega Kuningan. Cewek Diajak Minum AO, Udah Beler, digilir 5 Kuli (LM, 4 Agustus 2008)
4 Tahun Kerja, Malah Kelilit Utang Rp. 2,5 Juta. Linmas Kelurahan Menteng Ngerampok, Bunuh 3 Orang (LM, 3 Agustus 2008)
Cowok Kelamaam Gak di Rumah, Jadi Gampang Greng. Udah Tau Cewek O’on Diperkosa Ampe Hamil (LM, 19 Agustus 2008)
Modalnya Cuma Gondrong Doang, Macari Pembantu. Pembantu Jarang Dijajanin Minta Putus, Eh…Diperkosa (LM, 12 Agustus 2008)
Opinisasi dalam lead Lampu Merah seringkali ditampilkan dalam bentuk generalisasi, yaitu penyimpulan gejala tertentu secara umum (proposisi) tanpa disertai bukti-bukti pendukung (premis-premis) yang relevan. Terkadang opini dibuat seolah-olah mewakili pendapat atau pikiran aktor/subjek berita. Contoh opinisasi ini antara terlihat dalam lead berita yang ditulis sebagai berikut.
Si cowok benar-benar nggak modal. Kecuali rambut gondrongnya. Dia pikir, dengan rambut gondrongnya, si pembantu yang dipacarinya bakal senang. Ternyata tidak. Lama-lama, si pembantu capek juga harus membayari jajan setiap kali kencan. Dan si pembantu pun pacaran lagi. Si gondrong diputusin. Tapi si gondrong marah. Si pembantu pun diperkosa! (LM, 12 Agustus 2008)
Ini memang cuma masalah burung. Yang kepengen matuk. Tapi jadi persoalan serius karena yang mau dipatuk terlanjur ngantuk. Dan acara matuk pun batal. Karuan, yang punya burung ngamuk. Dan malam itu, istri yang ngantuk pun diamuk. Tangannya dipelintir. (LM, 9 Agustus 2008).
DS (25 tahun) warga Kampung Sasak, Desa Tegal, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor mendapat julukan raja tega. Bagaimana tidak? Cowok itu telah mencabuli cewek 10 tahun. Sebut saja Melati. Ironisnya, si cewek itu keponakannya sendiri. Orangtua Melati pastinya kecewa. Mereka melaporkan DS ke kantor polisi. (LM, 8 Agustus 2008).
Dalam body berita Lampu Merah, bentuk opinisasi umumnya juga tampak dari adanya pencampuran antara fakta dan opini dalam berita sehingga mengaburkan fakta pokok yang ingin disampaikan. Selain itu, opinisasi juga ditandai adanya generalisasi, yaitu penyimpulan gejala tertentu secara umum (proposisi) tanpa disertai bukti-bukti pendukung (premis-premis) yang relevan, termasuk menyebutkan keseluruhan untuk mengganti sebagian (totem pro parte). Contohnya pada paragraf body berita Lampu Merah berikut.
Dan mungkin, Raden Ihlas Radesa (34), sudah katagihan microphone. Hingga akhirnya mencari ’microphone’ lain milik murid-muridnya. Tapi lucunya, meski kasus asusila ini sempat ditangani aparat kepolisian, tapi Ihlas Radesa tidak ditahan. (LM, 1 Agustus 2008)
Penarikan kesimpulan yang terburu-buru dan mengaburkan motif sebenarnya dari pelaku kriminal yang ditampilkan dengan teknik generalisasi juga tampak jelas dari kutipan body berita Lampu Merah berikut.
Aksi nekat yang dilakukan DS dipicu karena kegemarannya nonton film porno. Saat gairah melanda otak dan pikiran, DS tidak tahu kemana harus menyalurkannya. Saat DS pusing, dia melihat Melati baru keluar dari rumahnya. Otak DS langsung ngeres. (LM, 8 Agustus 2008)


Secara umum, opinisasi pada headline Lampu Merah muncul dalam bentuk pola-pola sintaksis yang khas berupa pemilihan kata, frasa, dan kalimat bernuansa opinisasi. Kata-kata yang dipilih Lampu Merah untuk menonjolkan opinisasi antara lain: “mungkin”, “maklum”, “entah”, “memang”, “rupanya”, “sepertinya”, “agaknya”, dan “karuan”. Sedangkan frasa yang digunakan Lampu Merah untuk menampilkan opinisasi di antaranya: “bagaimana tidak?”, “mau gimana lagi?”, dan “antara percaya dan tidak”.

Dalam pola kalimat, opinisasi headline Lampu Merah muncul baik berupa kalimat panjang dan kalimat pendek yang berada dalam struktur paragraf. Umumnya, kalimat dinilai mengandung opinisasi karena adanya generalisasi, yaitu penyimpulan gejala tertentu secara umum (proposisi) tanpa disertai bukti-bukti pendukung (premis-premis) yang relevan. Pola pemberian opini yang terlihat jelas biasanya muncul pada kalimat di awal paragraf lead mampun body berita. Contoh pemberian opini sekaligus penyimpulan yang seharusnya tidak perlu dimunculkan tampak dalam paragraf berikut. Minggu dinihari kemarin tak akan pernah dilupakan Este (nama samaran). Gadis 19 tahun itu dicekoki minuman keras sampai teler. Setelah itu, Este digilir lima cowok di sebuah lapangan di daerah Mega Kuningan, Setiabudi Jakarta Selatan. Este lemes. Ia terkulai, ditinggal begitu saja oleh cowok yang menggilirnya. (LM, 4 Agustus 2008)
Berakhir sudah petualangan dukun cabul bernama Darsipan (45 tahun), warga Kasmaran, Kecamatan Wisdasari. Darsipan ditangkap polisi, saat tidur pulas di rumahnya. Darsipan dilaporkan ke polisi karena telah melakukan pencabulan. (LM, 24 Agustus 2008)
Dia boleh jago ngelurusin urat yang bengkok. Tapi uratnya sendiri, benar-benar nggak keurus. Buktinya saat urat burungnya tegang, si tukang pijet ini tak pilih-pilih lagi. Pelanggan pijetnya, yang sudah keriput, diembat juga. Malah, si nenek diperkosa setelah jadi mayat. Ya, kepala si nenek dibekap kantong kresek sampai mati. Lalu diperkosa! Hahh? (LM, 5 Agustus 2008)
Selain Lampu Merah, berita di harian Poskota (PK) juga diwarnai dengan opinisasi. Opinisasi dalam lead Pos Kota seringkali juga ditampilkan dalam bentuk generalisasi. Contoh opinisasi ini antara terlihat dalam lead berita yang ditulis sebagai berikut.
Menjadi bom seks tampaknya menjadi pilihan bagi sejumlah selebritis kita yang menyandang status janda. Mereka melihat film dengan buka aurat merupakan bagian dari profresionalisme memenuhi tuntutan skenario. (PK, 10 Agustus 2008)
Buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya. Pepatah ini pantas diberikan kepada Ny.Sriatun dan Ryan, anaknya. Ketika diperiksa di Polres Jombang, Ny.Sriatun, yang bekerja sebagai pedagang kain, bersikeras bahwa ia jarang di rumah. (PK, 1 Agustus 2008)
Kejahatan di Ibukota jakarta dan sekitarnya sudah tak pandang bulu. Korban kebiadaban mereka banyak dijumpai orang lanjut usia (lansia) kaya. Selain dibantai, harta bendanya disikat. Bahkan tak sedikit pula pelakunya adalah orang yang dikenal korban. (PK, 9 Agustus 2008).
Dalam body berita Pos Kota, bentuk opinisasi umumnya juga tampak dari adanya pencampuran antara fakta dan opini dalam berita sehingga mengaburkan inti fakta yang akan disampaikan. Contohnya pada paragraf pertama body berita Pos Kota berikut.
Kemunduran perekonomian yang sedang terjadi di Indonesia berimplikasi luas dan dalam. Implikasi tergolong tragis adalah banyak orang menempuh jalan pintas dengan cara membunuh dengan maksud mendapatkan harta. Banyak pula yang harapannya mentok, lalu bunuh diri. (PK, 12 Agustus 2008)
Penarikan kesimpulan yang terburu-buru dalam penyampaian berita karena keinginan untuk beropini layaknya “juru dakwah”, akhirnya mengabaikan sejumlah fakta penting dari rangkaian peristiwa. Contoh pola ini tampak jelas dari kutipan body berita Pos Kota berikut.
Sejumlah proyek pembangunan mandeg karena dikabarkan pejabat pelaksanaannya takut salah dalam bekerja. Ketakutan seperti itu tidak perlu terjadi bila yang bersangkutan tidak memiliki kepentingan pribadi kecuali melaksanakan tugas. Kesan yang muncul, tanpa korupsi atau cincai-cincai, proyek pembangunan tidak bisa berjalan. Ironis. (PK, 13 Agustus 2008)


Secara umum, opinisasi pada headline muncul dalam bentuk pola-pola sintaksis yang khas berupa pemilihan kata, frasa, dan kalimat bernuansa opini. Kata-kata yang dipilih Pos Kota untuk menonjolkan opinisasi dalam penulisan headline antara lain: “tampaknya”, “kesannya”, “dikabarkan”, “pantas saja”, “sepertinya”, “tentu”. Sedangkan frasa yang digunakan untuk menampilkan opinisasi di antaranya: “kesan yang muncul”, “tentu saja”, “boleh dibilang”, “bisa dibilang”, “tidak mengherankan”.

Dalam pola kalimat, opinisasi headline muncul baik berupa kalimat panjang dan kalimat pendek yang berada dalam struktur paragraf. Umumnya, kalimat dinilai mengandung opinisasi karena adanya generalisasi, yaitu penyimpulan gejala tertentu secara umum (proposisi) tanpa disertai bukti-bukti pendukung (premis-premis) yang relevan. Kadang diimbuhi pepatah atau peribahasa yang seharusnya tidak perlu dimunculkan dalam penulisan berita. Pola kalimat bernuansa opini tampak pada contoh paragraf berikut.
Buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya. Pepatah ini pantas diberikan kepada Ny.Sriatun dan Ryan, anaknya. Ketika diperiksa di Polres Jombang, Ny.Sriatun, yang bekerja sebagai pedagang kain, bersikeras bahwa ia jarang di rumah. (PK, 1 Agustus 2008)
Pasangan suami istri ditemukan tak bernyawa di rumahnya, Perumahan Cipta Graha Blok C No.6 Gunung Batu, Pasteur Bandung, Jawa Brata, Sabtu (30/8) malam. Kedua korban Ronal Alimuddin, 50, dan sang istri, Sri Magdalena, 45, dibunuh dengan cara sadis. Tentu saja peristiwa tersebut membuat geger kota Bandung. (PK, 4 Agustus 2008)
Praktik penyimpangan seks sesama lelaki bukan cuma dijumpai di kalangan usia dewasa, tapi sudah merambah kalangan remaja. Sebagian di antaranya dari keluarga miskin. Remaja keluarga miskin itu di antaranya menjadi joki 3 in 1 (three in one) dan anak jalanan (anjal). Boleh dibilang, remaja tersebut cuma menjadi korban pelampiasan nafsu pria dewasa sebagai gay. (PK, 6 Agustus 2008

No comments:

Post a Comment