Di tengah hingar-bingarnya media-media baru yang lebih glamour seperti televisi, televisi berbayar, TV digital/HDTV, internet, podcast/audio & video streaming dsb., kelihatannya seolah-olah media radio di Indonesia semakin kurang diminati oleh masyarakat. Menurut hasil survey Nielsen pada pertengahan tahun 2009, jumlah pendengar radio menurun sekitar 1,3% dibandingkan tahun lalu. Trend ini sudah terlihat sejak lima tahun yang lalu, walaupun ketika itu penurunannya masih berbunyi 0,xx%.
Di Amerika Serikat juga terjadi penurunan pendengar radio, tetapi persentase penurunannya sangat kecil, hanya 1,5% dalam 10 tahun untuk pendengar radio konvensional. Sementara itu terjadi peningkatan jumlah pendengar “radio internet”. Terutama bagi kalangan anak muda, radio internet sangat populer. Mereka mendengarkan siaran radio favoritnya bukan melalui pesawat radio biasa, melainkan melalui “pesawat” komputer. Kini di AS sudah ada rata-rata 30 juta orang dalam satu minggu yang mendengarkan radio dari internet.
Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa tidak terjadi penurunan pendengar radio di Amerika Serikat, barangkali hanya pergeseran alat saja. Bahkan mungkin secara nilai absolutnya justru terjadi peningkatan (dikaitkan dengan angka pertambahan populasi penduduk). Tambahan lagi, peta situasi dan kondisi media di sana jumlahnya jauh lebih banyak dan dengan kualitas yang baik pula. Artinya secara industri, radio di Amerika Serikat sebenarnya menghadapi situasi persaingan yang jauh lebih berat daripada kita di Indonesia.
Kesadaran Profesi Radio/TV Broadcaster
Sebuah industri tidak serta-merta akan tumbuh, berkembang dan bertahan dengan sendirinya. Industri hidup dan berkembang apabila para pelakunya juga mau hidup dan mau berkembang. Jiwa profesionalisme para radio-broadcastersdi Amerika Serikat-lah sebenarnya yang membuat industri radio disana tidak pernah mati sejak kelahirannya di tahun 1930-an, walau dihantam berbagai media teknologi baru sepert TV ditahun 1950/60-an sampai sekarang. Profesional adalah sebuah karakter pengabdian pada profesi sedemikian rupa dalam mencapai kesempurnaan diri melalui profesinya itu.
Itu sebabnya, hampir semua broadcaster di sana memasuki profesi tersebut dengan kesadaran penuh serta dibekali pula oleh ilmu dan ketrampilan yang terus menerus dikembangkannya pula.
Sebut saja Oprah Winfrey, yang ketika di bangku SMA telah menjuarai Kontes Pidato. Kemudian mengambil mata kuliah Komunikasi di Tennessee State University. Setelah lulus ia pun bekerja di stasiun radio WVOL sebagai reporterdan pembaca berita (newscaster). Lalu ia pindah ke Nashville dan bekerja sebagai news-anchor di WLAC–TV, dst. dst. Jelas sekali ke-profesional-an yang kita lihat sekarang pada dirinya, sesungguhnya bersandar pada jiwa profesional yang sudah tertanam sejak ia di bangku SMA. Dari sanalah ia menapaki karier jenjang demi jenjang. Kisah yang hampir sama bisa kita baca padaautobiography para broadcaster yang punya nama besar (seperti Larry King, misalnya). Mereka semua ingin mencapai kesempurnaan dalam profesi yang menjadi pilihan jalan hidup, tahap demi tahap, dengan segala konsekuensinya.
Sungguh sangat berbeda dengan kita di Indonesia. Banyak orang yang bekerja menjadi penyiar radio karena alasan atau motivasi yang sungguh tidak kondusif bagi kehidupan industri radio broadcasting di Indonesia. Bahkan begitu pula di televisi. Banyak dari mereka menjadi penyiar televisi sejak awalnya bukan dikarenakan keinginan profesi yang didukung ketrampilan dan penguasaan ilmu, melainkan karena sebab-sebab lain yang jelas tidak mendukung profesionalisme (misal: popularitas pribadi). Untuk diketahui, menurut newsletter Nielsen, ratingtelevisi Indonesia (free to air) dalam lima tahun terakhir menurun sekitar 2%. Inti persoalannya sudah sama-sama kita ketahui.
Jadi, tidak perlu heran kalau siaran radio dan televisi kita semakin ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri. Masyarakat masa-kini mempunyai banyak pilihan untuk mengakses informasi dan hiburan, sehingga tidak harus selalu tergantung kepada stasiun-stasiun televisi lokal/nasional maupun radio-radio lokal/nasional. Mereka bisa memilih televisi berbayar, website, podcast, mp3, DVD Blue-Ray, bioskop dlsb.
Seorang Profesional Selalu Ingin Terus Belajar
Salah satu ciri orang yang jiwanya profesional, ia memiliki wawasan pikiran yang luas terbuka. Walaupun dirinya sudah tergolong nge-top, tetap saja ia selalu merasa kurang. Ia ingin selalu belajar. Sesuai definisi profesional, ia ingin menuju kesempurnaan dalam profesi. Kalau ada seorang penyiar televisi yang merasa hebat hanya karena wajahnya setiap malam muncul di layar kaca, pastilah ia bukan seorang yang berjiwa profesional.
Di Indonesia, jalan menuju kesempurnaan profesi seorang broadcaster memang tidak mudah. Ada empat hal mendasar yang menjadi kendala.
Pertama. Perusahaan broadcasting (dan production house-nya) tidak merasa perlu mempekerjakan karyawan dengan keahlian/pengetahuan/keterampilan yang tinggi. Karena hanya dengan apa yang ada selama ini, perusahaan sudah mampu menciptakan keuntungan besar. Mempekerjakan orang yang ahli hanya akan menambah tinggi biaya operasi. Dengan situasi industri seperti ini, maka tidak tercipta motivasi/semangat untuk meningkatkan diri dengan menambah ilmu/skill pada setiap individu yang akan dan sedang bekerja di perusahaanbroadcasting.
Kedua. Tidak ada kemauan dari (calon) broadcaster untuk belajar dan belajar, mengingat kalaupun ia sudah belajar, ketika bekerja nanti tidak akan terlihat kepastian dampak langsung pada income/pendapatan si broadcaster.
Ketiga. Selama ini, masyarakat masih menganggap bahwa bekerja di radio (dan juga televisi) hanyalah pekerjaan hura-hura alias pekerjaan tak tetap yang tak bisa dijadikan karier untuk dapat menafkahi keluarga dan hari tua. Kenyataan pun pada tahap sekarang, kalau mau bekerja jadi broadcaster (baik di tv atau radio) biasanya jadi karyawan kontrak beberapa tahun, sehingga ini masih sulit bila memilih dan mengawali broadcasting sebagai karier.
Keempat. Tidak adanya lembaga pendidikan broadcasting yang credible, yang dapat diyakini bahwa lulusannya nanti bisa dipakai oleh industri langsung maupun tak langsung, sehingga si (calon) broadcaster bisa punya harapan akan masa depannya.
Solusi
Jadi, apa dong? Rasanya tidak akan habis-habisnya kalau kita membahas ini, seperti kasus telur dan ayam mana yang lebih dahulu ada. Solusinya ya terpaksa solusi ala penemu (inventor) atau ala pelopor (pioneer). Seorang penemu terus bekerja siang dan malam, mengkaji, me-review, mencoba dan mencoba, tanpa pernah tahu apakah ia akan berhasil atau tidak. Seorang penemu bukan saja tidak dibayar tetapi bahkan terkadang sampai menghabiskan kekayaannya sendiri untuk mempelajari sesuatu yang “diyakini”.
Jadi kata kuncinya adalah, “apakah kita broadcaster punya keyakinan yang begitu besar, sampai-sampai kalau perlu mengorbankan apa yang kita miliki, untuk memperoleh kesempurnaan dalam menjalankan profesi kita?”
Nah, ini dia pertanyaan mudah yang jawabannya susah..he..he..he
Di Amerika Serikat juga terjadi penurunan pendengar radio, tetapi persentase penurunannya sangat kecil, hanya 1,5% dalam 10 tahun untuk pendengar radio konvensional. Sementara itu terjadi peningkatan jumlah pendengar “radio internet”. Terutama bagi kalangan anak muda, radio internet sangat populer. Mereka mendengarkan siaran radio favoritnya bukan melalui pesawat radio biasa, melainkan melalui “pesawat” komputer. Kini di AS sudah ada rata-rata 30 juta orang dalam satu minggu yang mendengarkan radio dari internet.
Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa tidak terjadi penurunan pendengar radio di Amerika Serikat, barangkali hanya pergeseran alat saja. Bahkan mungkin secara nilai absolutnya justru terjadi peningkatan (dikaitkan dengan angka pertambahan populasi penduduk). Tambahan lagi, peta situasi dan kondisi media di sana jumlahnya jauh lebih banyak dan dengan kualitas yang baik pula. Artinya secara industri, radio di Amerika Serikat sebenarnya menghadapi situasi persaingan yang jauh lebih berat daripada kita di Indonesia.
Kesadaran Profesi Radio/TV Broadcaster
Sebuah industri tidak serta-merta akan tumbuh, berkembang dan bertahan dengan sendirinya. Industri hidup dan berkembang apabila para pelakunya juga mau hidup dan mau berkembang. Jiwa profesionalisme para radio-broadcastersdi Amerika Serikat-lah sebenarnya yang membuat industri radio disana tidak pernah mati sejak kelahirannya di tahun 1930-an, walau dihantam berbagai media teknologi baru sepert TV ditahun 1950/60-an sampai sekarang. Profesional adalah sebuah karakter pengabdian pada profesi sedemikian rupa dalam mencapai kesempurnaan diri melalui profesinya itu.
Itu sebabnya, hampir semua broadcaster di sana memasuki profesi tersebut dengan kesadaran penuh serta dibekali pula oleh ilmu dan ketrampilan yang terus menerus dikembangkannya pula.
Sebut saja Oprah Winfrey, yang ketika di bangku SMA telah menjuarai Kontes Pidato. Kemudian mengambil mata kuliah Komunikasi di Tennessee State University. Setelah lulus ia pun bekerja di stasiun radio WVOL sebagai reporterdan pembaca berita (newscaster). Lalu ia pindah ke Nashville dan bekerja sebagai news-anchor di WLAC–TV, dst. dst. Jelas sekali ke-profesional-an yang kita lihat sekarang pada dirinya, sesungguhnya bersandar pada jiwa profesional yang sudah tertanam sejak ia di bangku SMA. Dari sanalah ia menapaki karier jenjang demi jenjang. Kisah yang hampir sama bisa kita baca padaautobiography para broadcaster yang punya nama besar (seperti Larry King, misalnya). Mereka semua ingin mencapai kesempurnaan dalam profesi yang menjadi pilihan jalan hidup, tahap demi tahap, dengan segala konsekuensinya.
Sungguh sangat berbeda dengan kita di Indonesia. Banyak orang yang bekerja menjadi penyiar radio karena alasan atau motivasi yang sungguh tidak kondusif bagi kehidupan industri radio broadcasting di Indonesia. Bahkan begitu pula di televisi. Banyak dari mereka menjadi penyiar televisi sejak awalnya bukan dikarenakan keinginan profesi yang didukung ketrampilan dan penguasaan ilmu, melainkan karena sebab-sebab lain yang jelas tidak mendukung profesionalisme (misal: popularitas pribadi). Untuk diketahui, menurut newsletter Nielsen, ratingtelevisi Indonesia (free to air) dalam lima tahun terakhir menurun sekitar 2%. Inti persoalannya sudah sama-sama kita ketahui.
Jadi, tidak perlu heran kalau siaran radio dan televisi kita semakin ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri. Masyarakat masa-kini mempunyai banyak pilihan untuk mengakses informasi dan hiburan, sehingga tidak harus selalu tergantung kepada stasiun-stasiun televisi lokal/nasional maupun radio-radio lokal/nasional. Mereka bisa memilih televisi berbayar, website, podcast, mp3, DVD Blue-Ray, bioskop dlsb.
Seorang Profesional Selalu Ingin Terus Belajar
Salah satu ciri orang yang jiwanya profesional, ia memiliki wawasan pikiran yang luas terbuka. Walaupun dirinya sudah tergolong nge-top, tetap saja ia selalu merasa kurang. Ia ingin selalu belajar. Sesuai definisi profesional, ia ingin menuju kesempurnaan dalam profesi. Kalau ada seorang penyiar televisi yang merasa hebat hanya karena wajahnya setiap malam muncul di layar kaca, pastilah ia bukan seorang yang berjiwa profesional.
Di Indonesia, jalan menuju kesempurnaan profesi seorang broadcaster memang tidak mudah. Ada empat hal mendasar yang menjadi kendala.
Pertama. Perusahaan broadcasting (dan production house-nya) tidak merasa perlu mempekerjakan karyawan dengan keahlian/pengetahuan/keterampilan yang tinggi. Karena hanya dengan apa yang ada selama ini, perusahaan sudah mampu menciptakan keuntungan besar. Mempekerjakan orang yang ahli hanya akan menambah tinggi biaya operasi. Dengan situasi industri seperti ini, maka tidak tercipta motivasi/semangat untuk meningkatkan diri dengan menambah ilmu/skill pada setiap individu yang akan dan sedang bekerja di perusahaanbroadcasting.
Kedua. Tidak ada kemauan dari (calon) broadcaster untuk belajar dan belajar, mengingat kalaupun ia sudah belajar, ketika bekerja nanti tidak akan terlihat kepastian dampak langsung pada income/pendapatan si broadcaster.
Ketiga. Selama ini, masyarakat masih menganggap bahwa bekerja di radio (dan juga televisi) hanyalah pekerjaan hura-hura alias pekerjaan tak tetap yang tak bisa dijadikan karier untuk dapat menafkahi keluarga dan hari tua. Kenyataan pun pada tahap sekarang, kalau mau bekerja jadi broadcaster (baik di tv atau radio) biasanya jadi karyawan kontrak beberapa tahun, sehingga ini masih sulit bila memilih dan mengawali broadcasting sebagai karier.
Keempat. Tidak adanya lembaga pendidikan broadcasting yang credible, yang dapat diyakini bahwa lulusannya nanti bisa dipakai oleh industri langsung maupun tak langsung, sehingga si (calon) broadcaster bisa punya harapan akan masa depannya.
Solusi
Jadi, apa dong? Rasanya tidak akan habis-habisnya kalau kita membahas ini, seperti kasus telur dan ayam mana yang lebih dahulu ada. Solusinya ya terpaksa solusi ala penemu (inventor) atau ala pelopor (pioneer). Seorang penemu terus bekerja siang dan malam, mengkaji, me-review, mencoba dan mencoba, tanpa pernah tahu apakah ia akan berhasil atau tidak. Seorang penemu bukan saja tidak dibayar tetapi bahkan terkadang sampai menghabiskan kekayaannya sendiri untuk mempelajari sesuatu yang “diyakini”.
Jadi kata kuncinya adalah, “apakah kita broadcaster punya keyakinan yang begitu besar, sampai-sampai kalau perlu mengorbankan apa yang kita miliki, untuk memperoleh kesempurnaan dalam menjalankan profesi kita?”
Nah, ini dia pertanyaan mudah yang jawabannya susah..he..he..he
No comments:
Post a Comment