Radio Komunitas dan permasalahannya - So Behind The Microphone

Headlines Articles

Monday, May 21, 2018

Radio Komunitas dan permasalahannya

anda mengelola atau memiliki Radio komunitas? Rakom di mata masyarakat memiliki daya tarik tersendiri,seperti konten bahasa dan budaya yang tidak berbatas seperti LPS yang konten daerahnya hanya boleh maks 30% dalam satu hari. radio komunitas yang paling sering di jumpai adalah radio komunitas Sekolah,pasar,rumah ibadah/keagamaan,paguyuban. Menurut permohonan izin yang disampaikan ke Kemkominfo, ada lebih dari 1.000. Dari jumlah itu yang menjadi anggota JRKI ada 423 dari 17 Propinsi yang sudah ada JRK (Jaringan Radio Komunitas ) Wilayah. Sedang radio dari 5 propinsi Sumatera Selatan, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Nusa Tenggara Timur ada sekitar 25  yang sedang proses menjadi anggota JRKI.
akan tetapi Dalam menjalankan peran dan fungsinya radio komunitas berhadapan dengan berbagai persoalan yang diakibatkan oleh pelaksanaan regulasi yang tidak konsisten di lapangan. Regulasi dalam mendorong tumbuh dan berkembangannya radio komunitas di indonesia juga masih lemah.  
Sebagai contoh adalah proses perizinan. Dari pengalaman, proses ini panjang, lama dan melelahkan. Untuk mengurus izin radio komunitas harus memiliki kesabaran yang luar biasa. Ada yang prosesnya 2 tahun, 5 tahun, bahkan 8 tahun. Padahal jika mengacu ke Permenkominfo 28 tahun 2008 harusnya tak lebih dari 6 bulan.
Proses ini juga memberatkan karena syarat perizinannya hampir sama dengan radio swasta. Radio komunitas diharuskan membayar Biaya Hak Penggunaan Frekuensi (BHPF) yang paling sedikit 1 juta rupiah per tahun. Padahal radio ini bukan radio komersil yang mendatangkan keuntungan.
hal lain yang membuat radio komunitas susah bergerak adalah masalah perijinan,karena ribetnya perijinan maka banyak sekali radio komunitas yang diindikasi menjadi Radio gelap. 
contoh yang paling sering dijumpai adalah banyaknya proses administratif pendirian radio komunitas. sesuai peraturan Kominfo untuk radio komunitas harus mengumpulkan 250 KTP, akta pendirian atau akta perubahan dari Notaris, ijin Ganguan HO dll. untuk radio komersil atau lembaga penyiaran swasta hal akta notaris dirasa wajar. tapi untuk radio komunitas agak susah karena pengurus nya akan terasa asing dengan hal hal seperti ini.

Setelah semua syarat administratif sudah bisa terpenuhi, untuk menyerahkan proposal perizinan ke KPID tidak gampang. Persoalannya, KPID berada di ibukota propinsi. Jadi untuk penyerahan ke propinsi selain membutuhkan waktu yang lama juga biaya yang tidak sedikit, apalagi bagi yang jauh dari kota propinsi. Di Jawa Tengah saja, misalnya, orang Cilacap mau menyerahkan perizinan ke Semarang butuh 7-8 jam perjalanan sekali jalan. Ini Jawa, bagaimana dengan daerah lain yang selain jauh juga sarana transportasinya belum memadai?
Hal lain, ketika proposal sudah dianggap lengkap, belum tentu Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) bisa diselenggarakan karena KPID belum tentu memiliki anggaran. 
Di beberapa wilayah, biaya EDP dibebankan kepada lembaga penyiaran. Bagi lembaga penyiaran swasta mungkin tidak masalah dengan beban biaya ini, tetapi bagi lembaga penyiaran komunitas seperti radio ini beban berat untuk membiayai proses EDP dan biaya transportasi komisioner KPID. 

Apa saja problem internal yang dihadapi?
Dari sisi kelembagaan, beberapa radio komunitas masih belum tertata dengan baik. Ini membuat pola pengorganisasian belum terencana dan terimplementasikan dengan baik. Sementara dari sisi program siaran, radio komunitas yang memiliki relasi dengan banyak pihak telah mengembangkan program siaran yang cukup beragam baik isu maupun cara mengemasnya. Namun sebagian radio komunitas masih terjebak dalam hiburan semata.
Sedangkan dari pendanaan, radio komunitas masih mengandalkan kepedulian beberapa individu dan kelompok  karena dikelola dengan model tradisional. Proses kaderisasi juga masih lemah karena mobilitas anggota komunitas yang sangat dinamis. Belum lagi membangun kerelawanan dalam diri kader butuh waktu yang panjang.
Ada perbedaan pengelolaan antara radio komunitas di Jawa dan luar Jawa?
Kalau pengelolaan radio komunitas di JRKI hampir tidak ada perbedaan yang mencolok. Paling pembedanya adalah bahasa siaran dan acara acara favorit dalam radio. Biasanya yang menjadi kegemarana komunitas adalah acara berbahasa lokal dengan kemasan budaya lokal, seperti kacapain Sunda, macapatan Jawa, osingan Banyuwangi, berbalas pantun di Melayu. Biasanya semakin lokal sebuah mata acara, semakin digemari. Perbedaan yang nampak biasanya dari siapa yang menginisiasi radio komunitas itu berdiri. Jika digagas oleh organisasi atau kelompok dalam masyarakat, radio ini akan banyak mengemas program siaran sesuai dengan kebutuhan kelompok dan organisasinya. Misalnya pertanian, pengurangan risiko bencana, kepemudaan, keagamaan, adat istiadat, dan sebagainya. Tetapi jika radio digagas awal oleh individu, biasanya hiburan lebih mendominasi, interaksi yang ada lebih banyak saling sapa dan kirim lagu.  
Bagaimana dengan radio komunitas di daerah perbatasan? Apa tantangan yang dihadapi?
Dari sisi pemerintah, sebenarnya sudah ada program seperti rencana pendirian 500 radio komunitas. Tapi kalau dilihat, pemerintah belum melihat radio komunitas sebagai kelembagaan komunitas, baru sebatas teknologi dan siaran saja. Tantangan terbesar radio komunitas di manapun selain regulasi dari pemerintah, adalah kelembagaan itu sendiri. Nyawa dari radio komunitas adalah kerelawanan, jika mampu menghadirkan kerelawanan itu pastilah radio komunitas akan bisa berjalan. Namun kerelawanan tidak bisa dilahirkan dari pelatihan pelatihan dan alat-alat siaran yang bagus, tetapi dari proses pengorganisasian yang baik.
Dalam soal teknis, banyak sekali kendala yang bisa menghambat penyiaran di perbatasan.  Misalnya saja energi karena tidak tersedianya listrik yang terjangkau dari sisi biaya. Untuk menggunakan genset, misalnya, radio komunitas yang bersiaran minimal 5 jam akan membutuhkan minimal 5 liter bahan bakar minyak, kalau saja harga eceran bahan bakar minyak di perbatasan saat ini 15 – 20 ribu rupiah maka kebutuhan harian untuk ini bisa 75-100 ribu. Tentu ini sangat mahal bagi media penyiaran yang tidak mencari profit dan tidak memiliki sumber pendanaan yang tetap.
Kendala teknis lainnya misalnya ada kerusakan alat siaran. Untuk perbaikan atau membeli suku cadang yang hanya ada di kota tentu memakan waktu yang tidak sebentar. Apalagi kalau alat-alat itu hanya ada di Jawa, bisa berbulan bulan mati siaran hanya gara-gara alat. Padahal kalau radio sudah off dalam waktu yang lama, membangun komunitas kembali menjadi sulit
Apa yang dilakukan oleh JRKI dalam upaya mengatasi problem-problem tersebut?
JRKI memiliki 4 mandat utama dari anggota yakni advokasi, pengembangan kapasitas, representasi dan kemitraan. Dalam hal advokasi misalnya, kami mendesakkan percepatan pemberian izin untuk radio komunitas baik melalui KPI maupun Kominfo. Berbagai serial diskusi dan pertemuan untuk mempercepat proses perizinan kami lakukan. Sebelum tahun 2011, radio komunitas hampir tidak pernah dibahas dalam perizinan kominfo. Akhir tahun 2011 tercatat hanya 3 radio komunitas yang mendapat IPP dan 50 yang memperolah IPP Prinsip.

Kami juga bergabung dengan koalisi masyarakat sipil seperti Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) dan Sahabat Informasi dan Komunikasi yang Adil (SIKA) untuk ikut serta dalam advokasi perubahan UU Penyiaran. JRKI pada saat pembahasan RUU Penyiaran di masa pemerintahaan yang lalu bahkan telah membuat Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) tandingan. Namun akhirnya proses pembahasan itu kembali ke awal setelah pergantian pemerintahaan.