keinginan audience - So Behind The Microphone

Headlines Articles

Sunday, October 9, 2011

keinginan audience

Sebuah posting dari seorang “friend” pembawa acara televisi, muncul dalamnews-feed-ku hari ini di Facebook, “ayo tulis dong apa-apa yang kamu ingin agar dimunculkan dalam acara ini”. Pada hari lainnya sering muncul juga tulisan dari seorang penyiar radio, “silahkan kalau mau request lagu sms aja ke nomer ini”.

Menurut Anda apa yang ada di pikiran mereka? Menurut saya, jalan pikiran kedua broadcaster ini sama saja yaitu; seandainya saya memberikan apa yang diinginkan penonton televisi atau memberikan apa yang pendengar ingin dengar di radio, maka penonton acara TV atau pendengar siaran radio saya akan meningkat.

Dalam bentuk lain mereka berpikir, misalnya, kalau menurut survey, Pasha Ungu adalah orang yang paling populer, maka kalau kita membikin acara TV dimana selalu ada Pasha Ungu-nya sudah pasti penonton acara kita itu akan banyak juga.

Kalau lagu pop Indonesia adalah lagu pop yang paling banyak penggemarnya, maka kalau stasiun radio kita hanya memasang lagu-lagu pop Indonesia maka stasiun radio kita otomatis akan memiliki pendengar yang terbanyak juga.

Kalau memang seperti itu, mudah sekali cara membuat sebuah radio memperoleh banyak pendengar atau mudah sekali membuat acara stasiun televisi kita ditonton oleh banyak orang. Memang begitulah logika pemikiran orang awam: Kalau kita mengikuti apa kata audience, maka kita akan sukses. Benarkah?

Orang Awam Bukanlah Broadcaster

Saya bukan orang yang baru saja melakukan survey, walaupun selama karir dibroadcasting saya sudah melakukannya berkali-kali. Namun saya cukup yakin bahwa kalau sekarang Anda lakukan pertanyaan untuk survey, maka kira-kira jawabannya akan seperti dibawah ini.

Kalau ditanyakan kepada orang awam alasan mereka mendengar radio? maka jawabannya pasti, terutama karena ingin mendengarkan musik dan juga informasi. Ketika ditanyakan lagi musik seperti apa dan informasi seperti apa? Mereka akan menjawab yaaah.. musik-musik yang enak / ringan / pop / dangdut, sedangkan kalau informasinya yaah.. berita-berita di sekitar kita dan tips-tips.

Kemudian berdasarkan hasil survey, Anda menyiarkan musik dan informasi sesuai keinginan mereka. Ternyata.. kok jumlah pendengar radio Anda tetap saja?

Kalau ditanyakan kepada orang awam kenapa mereka menonton televisi? maka jawabannya pasti, terutama untuk mencari hiburan dan juga berita. Ketika ditanya lebih lanjut, hiburan seperti apa? Mereka akan menjawab yaah... seperti sinetron, lawak, quiz, reality show. Nah, ketika sudah Anda programkan semua acara televisi anda sesuai hasil survey, ternyata rating tidak juga meningkat.

Lalu dimana salahnya? Bukankah Anda sudah memberikan apa yang diinginkan oleh audience / publik / market / pasar Anda? Memang tidak mudah.

Kesalahannya terletak pada Anda sendiri. Audience / pemirsa / penonton bukanlah broadcaster. Ketika mereka menjawab pertanyaan survey, mereka sebenarnya langsung me-refer kepada dirinya sendiri, namun kata-kata yang diungkapkannya itu lalu dituangkan secara umum.

Seorang pemirsa yang dicatat sebagai penggemar acara sepak-bola di televisi sebenarnya barangkali tidak menyukai acara sepakbola. Tapi ia penggemar fanatik dari Manchester United. Sehingga ketika acara sepakbola diperbanyak oleh televisi, tidak terlihat dampak peningkatan rating yang signifikan. Karena si “penggemar” sepakbola hanya menonton kalau Manchester United yang berlaga. Ia tidak menonton siaran sepakbola kalau pertandingannya antar klub lain, apalagi Liga-Liga Indonesia.

Begitu pula di radio. Ketika survey mencatat bahwa si A (bukan pendengar radio) menyukai musik pop Indonesia, padahal ia hanya menyukai misalnya, ST 12 atau AFGHAN atau mungkin lagu-lagu Indonesia yang ”mellow / sendu”. Sehingga ketika format stasiun radio Anda sudah dipantek sebagai hanya memainkan lagu-lagu pop Indonesia (segala jenis), tidak menyebabkan si A menjadi mendengarkan radio Anda. Karena di mobilnya sendiri ia sudah lengkap memiliki dan sepanjang jalan tadi memutar koleksi lagu-lagu-nya Afghan dan ST 12.

Demikian juga halnya dengan berita dan informasi. Di radio Anda dengan semangat menyisipkan di antara lagu-lagu, berita kasus Gayus, atau adanya kecelakaan di jalan tol yang membuat kemacetan panjang. Hasilnya tidak menggembirakan. Pendengar malah ada yang merasa terganggu. Karena kasus Gayus sudah ada beritanya tadi di koran dan sebuah televisi berita telah menyiarkannya, lebih lengkap dan lebih jelas. Sementara berita kemacetan di jalan tol sudah tak terasa penting karena kemacetan di Jakarta sudah sangat jamak sedangkan solusinya yang lebih diperlukan pendengar, belum ada atau justru tidak disiarkan oleh radio.

Sedangkan di industri televisi, sudah ada stasiun televisi berita yang setiap saat selalu menyiarkan berita, sehingga pemirsa tidak perlu menunggu sampai slot acara berita (misal, pada jam 5 sore) tiba. Akibatnya, rating acara berita stasiun televisi Anda juga tidak bisa meningkat, walau telah menyiarkan berita-berita yang hangat, tetapi kalah cepat dalam waktu penyiarannya dengan stasiun-stasiun televisi berita.

Broadcaster Harus Melihat Lebih Dalam

Sayang sekali sebagai broadcaster kita masih sering berpikir menggunakan logika orang awam. Itu sebabnya, kenapa sebuah acara yang sukses di sebuah stasiun, akan dengan cepat di-copy oleh stasiun lainnya, khas orang awam. Kalau satu orang di kampung sukses jual dukuh, maka sekampung itulah nanti orang jualan dukuh semua.

Kalau yang sukses itu acara sinetron drama religi, maka semua stasiun yang lain juga akan menyiarkan sinetron drama religi agar bisa meraih sukses yang sama. Padahal kalau mau dikaji lebih dalam, bukanlah drama religi-nya yang menarik bagi penonton, melainkan ada ”sesuatu” yang membuat drama religi itu menarik bagi penonton. Sebuah sinetron Korea, pernah memperoleh rating yang justru lebih tinggi dari drama religi. Ini membuktikan bahwa ada ”sesuatu” yang membuat penonton tertarik, walau jenis sinetron Korea tersebut bukanlah jenis drama-religi.

Keahlian menemukan ”sesuatu” dan mengolahnya sehingga menjadi menarik dalam bentuk lain, begitulah seharusnya seorang broadcaster yang berkualitas.

Sebuah stasiun radio yang sukses dengan format menyiarkan musik pop saja (yang seleksinya berdasarkan survey), langsung ditiru oleh stasiun radio lainnya dengan juga hanya menyiarkan musik. Data mereka menganggap ”siaran kata” sebagai kurang disukai. Padahal duduk persoalannya bukanlah karena pendengar menyukai musik dan tidak menyukai ”omongan”, melainkan begini: daripada ada ”omongan” tetapi lalu kenikmatan saya (pendengar) dalam mendengarkan siaran radio jadi terganggu, lebih baik pasang lagu aja deeehh....

Keahlian seorang radio-broadcaster dalam mengolah siaran-kata menyampaikannya dengan ketrampilan berbicara yang mumpuni, sangat essensiel untuk dikombinasikan dengan musik. Sebab kebutuhan pendengar mendengarkan radio bukanlah hanya untuk mendengarkan lagu-lagu pilihannya saja. Karena kalau hanya untuk lagu saja, bukankah sudah banyak sarana lain, seperti iPod dan alat-alat / gadget lainnya

No comments:

Post a Comment