Suara Rakyat Banyak - So Behind The Microphone

Headlines Articles

Sunday, October 9, 2011

Suara Rakyat Banyak

Waktu menulis judul ini, bukan berarti saya bermaksud menjadi seorang penulis atau pengulas masalah politik, lho. Saya tetap fokus pada bidang yang sudah saya tekuni puluhan yaitu broadcasting. Judul di atas saya ambil karena memang media broadcasting (radio & TV) adalah media yang penetrasinya melebih separuh dari populasi negeri ini, setiap hari! Maka seyogyanyalah setiap hari pula media broadcasting mewakili suara rakyat banyak.

Sebagian dari kita boleh saja kesal melihat bagaimana sinetron-sinetron seronok, reality show bepura-puraan dan banyolan kasar, serta pemberitaan ala koran kuning yang hobby menjual sensasi, mendatangi ruang-ruang keluarga Indonesia setiap hari, tetapi fakta menunjukkan “pemirsa/masyarakat menyukainya “, rating-nya tinggi! Bukankah ini mencerminkan suara rakyat banyak? Bukankah ini sesuai dengan situasi era-reformasi?

Demokrasi ala Kaos Merah

Kelompok Kaos Merah di Thailand (yang disinyalir dibiayai oleh mantan perdana menteri Thailand, Thaksin Sinawatra) sudah hampir sebulan ini berdemonstrasi, sampai sudah sangat mengganggu aktivitas kota Bangkok, dengan tuntutan “Demi Demokrasi”. Demokrasi sebuah kata sakral merupakan perwujudan dari suara rakyat banyak, yangmana kalau diucapkan di forum manapun, pastilah semua orang akan simpati.

Dulu pada masa rezim orde-baru (yang tidak demokratis), setiapkali pemilu, 60% rakyat Indonesia pasti memilih partainya Pak Harto. Terlepas apakah angka 60% itu datang diakibatkan tekanan senjata/fisik atau mental, tetap saja suara rakyat terbanyak memang memilih Pak Harto.

Di Thailand, sudah 2x diadakan pemilu demokratis, selalu saja suara rakyat banyak memenangkan Thaksin atau partainya Thaksin. Jadi bisa kelihatan pula dugaannya, bahwa perjuangan Kaos Merah agar diadakan pemilu yang demokratis, bertujuan supaya Thaksin lagi yang memimpin negara. Maka terlihatlah bahwa “demokrasi”-pun punya udang di balik batu.

Seperti juga Indonesia, Thailand pun memiliki tingkat kesejahteraan penduduk yang memprihatinkan alias miskin. Justru populasi yang demikian ini, mayoritas. Makanya, baik di Indonesia maupun di Thailand, kalau mau memenangkan suara rakyat banyak, resepnya mudah sekali: Bagi-bagikan harta/uang/baju/makanan kepada orang miskin, sekarang juga sebagaimana sinterklas, maka suara rakyat banyak akan jadi milik Anda. Atau, buatkan janji-janji dan langsung dengan menunjukkan bukti sebagai contoh dilakukan di beberapa titik tertentu yang menunjukkan bahwa tingkat hidup mereka akan lebih baik kalau memilih si sinterklas.

Kedua-dua trik inilah yang dimainkan oleh para pimpinan partai/organisasi dan atau pemerintahan, setiap kali diadakan pemilu. Itu sebabnya tidak usah heran, ada orang yang jelas-jelas kriminal dan korup, tetap saja terpilih lagi menjadi ketua atau pimpinan dalam organisasi apa saja, bahkan juga asosiasi sebuah cabang olah-raga.

Jadi sebenarnya, demokrasi, bila diterapkan di negara yang penduduknya sebahagian besar miskin dan bodoh, maka pemimpin-pemimpin yang bisa terpilih oleh suara rakyat banyak pastilah pemimpin yang harus bisa ngasih duit/sumbangan dsb. sekarang juga. Rakyat memilih bukan dikarenakan nilai-nilai dan faktor-faktor yang sebetulnya akan dapat membawa kebaikan kepada mereka dalam jangka panjang. Mereka memilih si calon pemimpin bukan dikarenakan moral, hati, pikiran, kemampuan dan pengalamannya dari si calon. Orientasi rakyat sangat jangka pendek: “pokoknya sekarang gue dapat apa”. Ini semua bisa terjadi justru dikarenakan kemisikinan dan kebodohannya. Faktor inilah yang sering dimanfaatkan atas nama demokrasi.

Broadcasting & Entertainment

Dalam dunia Broadcasting dan Entertainment ya sama juga. Penonton televisi tidak terlalu peduli apakah tontonan itu baik atau tidak bagi dirinya dalam jangka panjang. Buat mereka yang penting adalah bagi aku, dimana hidup sehari-harinya sudah susah, setidak-tidaknya dengan melihat sinetron seronok, lelucon kasar, atau talk-show tak sopan, itu justru mengena dan menyenangkan hatiku. Maka prinsip: “pokoknya yang penting sekarang gue seneng dulu ”, lebih menjadi utama ketimbang prinsip, apa manfaat yang bisa aku tarik dari sebuah tontonan untuk perbaikan kehidupanku dan anak-anakku yang sudah bertahun-tahun susah terus?

Dan lagi-lagi karena acara-acara begituanlah yang dapat menghasilkan ratingtinggi, sementara media broadcasting adalah media dengan penetrasi lebih dari 50% populasi Indonesia, maka bisa dikatakan bahwa mental: “pokoknya sekarang gue dapat apa” dan “pokoknya yang penting sekarang gue seneng dulu”, merupakan suara rakyat banyak, alias mentalitas sebahagian besar rakyat Indonesia. Paling tidak itu kesimpulan kasar yang bisa kita baca, bukan?

Lalu kalau memang sudah begitu “pasar"-nya, tentu saja kalau mau untung stasiun TV dan Radio akan menyiarkan apa yang jadi keinginan pasar, bukan? Itu sebabnya maka tidak akan pernah ada perbaikan dan peningkatan kualitas pada dunia penyiaran kita. Spiral negatif yang akan berujung pada kehancuran bersama akan terus berjalan. Masyarakat dan Dunia Broadcasting saling menyuapi “racun” ke dalam mulut masing-masing.

Tekad untuk Baik

Saya tidak mau berpesimis-ria bahwa keadaan ini sudah tidak bisa diperbaiki. Karena sebetulnya, obatnya ada. Sebagaimana layaknya obat, pastilah rasanya agak pahit tetapi dapat menyembuhkan.

Masalahnya tinggal, apakah pengusaha/pemilik business broadcasting sendiri sadar bahwa mereka sedang sakit? Kalau seorang pasien sendiri tidak menyadari bahwa dirinya sedang sakit, tentu saja ia tidak akan merasa perlu minum obat. Selain itu, yang kedua, kalaupun ia tahu bahwa ia sakit, maukah ia menikmati saja dulu rasa agak pahit yang selalu menyertai setiap obat tanpa mengeluh?

Kalau kedua prasyarat ini disetujui maka obatnya bisa disediakan, yaitu:

(1) Belajar memproduksi acara (atau materi siaran lainnya) agar dengan kreatif dapat membuat sebuah content yang biasa-biasa aja (bukan content yang heboh dan sensasionil), dapat diolah menjadi menarik, enak diikuti hingga disukai serta mampu mengundang orang untuk kembali.

(2) Belajar menawarkan dan menjual acara/stasiun dengan benar berdasarkan logika ilmu (bukan dengan trik dan banting-bantingan harga, sehingga seandainya rating-nya tidak terlalu tinggi pun advertiser tetap dapat memanfaatkannya menjadi sarana promosi yang efektif bagi produk-produk mereka.

Kedua buah obat inilah yang akan mampu untuk mengangkat stasiun Anda keluar dari lingkaran spiral negatif. Stasiun Anda untuk sementara mungkin tidak akan menjadi stasiunnya suara rakyat banyak, tetapi tanpa suara rakyat banyak pun iklannya banyak/income Anda baik (karena Anda pandai menjual). Di sisi lain rakyat pun mulai dididik untuk mulai menyukai acara-acara yang punya manfaat (karena Anda memang pandai mengolah content yang tadinya tak menarik, menjadi sajian yang enak diikuti). Kembali lagi tinggal, sadar nggak sih kalau elo itu sebenarnya lagi sakit?

No comments:

Post a Comment