Radio Enak - So Behind The Microphone

Headlines Articles

Wednesday, October 12, 2011

Radio Enak

Kalimat tersebut di atas adalah kalimat yang paling sering dikatakan oleh pendengar kita dan terutama boss kita, dalam berbagai bentuknya. Misal, “Siarannya yang enak dong”; “Ngomongnya yang enak dong”; “Suara lo kagak enak deh”; “Lagunya nggak enak tuh”. Biasanya kalimat begini keluar karena ada sesuatu yang tidak mengena di telinganya, tapi dia sendiri tidak tahu bagaimana mendeskripsikannya. Makanya kalau kita tanya, “yang enak itu yang bagaimana?”, maka dia pun bingung jawabnya. Terkadang ia jadi banyak omong berusaha menjelaskan tetapi tetap saja kita tidak tahu persis, yang bagaimanakah yang enak itu. Tinggallah perbaikan yang diharapkan sulit terwujud. Bukankah memang sangat sulit untuk memperbaiki kalau menjelaskan apa yang baik saja masih belum bisa?

Mendeskripsikan “Enak”

Mendeskripsikan “rasa” bukanlah pekerjaan yang mudah. Bakso yang enak buat si A, belum tentu enak buat si B. Begitu pula sebuah lagu yang enak untuk si A, belum tentu enak untuk si B. Jadi “enak” itu sangat personal sifatnya. Radio yang paling banyak pendengarnya bukan berarti siarannya enak untuk saya, tetapi barangkali memang enak bagi sebahagian besar orang yang bukan seperti saya.

Artinya, kalau kita mau mendeskripsikan enak, maka pertama-tama yang harus ditetapkan adalah, “Enak itu bagi siapa?”. Siapa, artinya bagi sekelompok orang-orang yang seperti apa pada umumnya? Oleh karena itulah sering dilakukan survey tentang perilaku masyarakat, lalu dibuatlah homogenitas kelompok tersebut, agar siaran kita nanti kita bisa dibilang “enak” oleh sebahagian kelompok masyarakat yang ingin kita layani (target audience), asalkan kita bisa memenuhi deskripsi “enak” sesuai deskripsi kelompok tersebut.

Paling mudah hal itu dilakukan dengan lagu. Radio yang paling banyak pendengarnya sekarang ini, formulanya cukup dengan melakukan surveyapakah umumnya orang suka atau tidak suka akan sebuah lagu. Lalu mereka hanya mengudarakan lagu yang paling banyak disuka saja. Maka otomatis radio itu, hanya dengan siaran deretan lagu yang sudah di-survey sebelumnya, berhasil meraih pendengar terbanyak. Siaran Lagu-Lagu Pop Indonesia memang cara yang mudah untuk dapat mempersatukan kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat. Walaupun begitu harus diingat, bukan “semua orang” melainkan hanya “sebahagian besar” orang.

Katakanlah misalnya, radio seperti itu tidak akan pernah berhasil membuat saya atau orang-orang seperti saya mau mendengarkan siarannya. Karena definisi “lagu enak” buat saya justru tidak banyak terdapat pada lagu-lagu yang digemari oleh sebahagian besar masyarakat. Banyak lagu pop yang buat sebahagian besar orang sangat enak, tapi buat saya malah kurang dapat saya apresiasi karena terlalu simple (sederhana). Tetapi orang seperti saya berapa sih jumlahnya? Pasti cuma sedikit. Paling tidak pasti lebih sedikit dari jumlah orang yang suka lagu-lagu pop ringan.

Nah, itu baru dari soal gampang, seperti Lagu. Bagaimana dengan penyiar yang ngomong-ngomong itu? Definisi masyarakat tentang penyiar yang enak bahkan lebih sulit lagi. Variable faktornya sangat banyak, berupa kombinasi dari berbagai faktor, “Warna suara; Cara bicara (kecepatannya, kejernihan ucapannya, kalimat yang digunakan, intonasi dsb.); Hal-hal yang disampaikan/dibahas; Gaya (simpatik, arogan, instruktif, bercanda, melankolis, dekat, ramah, cerdas, dsb.)” dan banyak lagi yang semuanya menjadi faktor yang berpengaruh pada penilaian rasa suka atau tidak suka pada si penyiar oleh pendengarnya.

Ketidak-merataan Strata Sosial

Perlu diingat, struktur sosial masyarakat kita masih timpang dimana kelompok masyarakat terbesar justru berada pada kelas sosial yang mengarah ke bawah. Orang yang tingkat edukasinya rendah lebih besar jumlahnya daripada yang edukasinya tinggi. Orang yang wawasan pengetahuannya sempit lebih banyak jumlahnya dari yang wawasannya luas. Orang yang ekonominya lemah lebih banyak dari yang ekonominya kuat. Tentu saja definisi “enak” juga menjadi sangat berbeda di antara kelompok masyarakat apabila dikelompokkan menurut masing-masing strata. Kelompok sosial masyarakat atas menyukai omongan yang lebih analitis dan cerdas, sementara orang yang di bawah menyukai omongan-omongan sederhana dan banyak bercanda. Artinya, ketika Anda siaran “enak” buat kelompok sosial yang berada di bawah, maka itu belum tentu “enak” buat kelompok sosial yang di atas. Begitu pula sebaliknya. Padahal kelompok sosial masyarakat di bahagian bawah adalah yang terbesar dalam jumlah.

Enak Bagi Sebahagian Besar Kelompok Masyarakat

Dengan perkataan lain, kalau omongan dalam siaran Anda terlalu “agak pintar”, kalau lagu-lagu yang Anda putarkan “agak rumit”, lalu isi siaran “agak serius”, maka artinya pendengar Anda akan sedikit jumlahnya. Karena dianggap siaran Anda tidak enak. Sebaliknya kalau ingin pendengar Anda banyak jumlahnya, maka anda harus siaran yang “dengan gaya bercanda terus”; “putar lagu pop ringan”; “isi siaran yang konyol-konyol“. Yang begini enak menurut sebahagian besar masyarakat kita. Mudah sekali rumusnya kalau ingin pendengarnya banyak, bukan? Supaya mudah sebagai contoh barangkali bisa kita pinjam acara TV yang penontonnya banyak, yaitu acaranya “Tukul”, dibandingkan dengan acara, “Kick Andy” yang penontonnya jauh lebih sedikit.

Baik atau Tidak Baik ?

Pimpinan sebuah stasiun berjaringan bercerita kepada saya bahwa jumlah pendengar radionya menurun. Kemudian saya coba teliti angka-angka surveydari Nielsen, ternyata benar jumlah pendengar keseluruhan (all people) memang menurun sedikit. Tetapi ketika kita perhatikan angka rating kelompok pendengar dengan strata sosial ekonomi mulai kelas BA (menengah-atas) sampai kelas A (atas), ternyata meningkat banyak.

Kehilangan pendengar kelas CDE sebesar 50.000 orang, tetapi tumbuh di kelas BA sebesar 30.000 orang. Maka secara “all people” radio ini kehilangan pendengar sebesar 20.000 orang. Itu baik atau tidak?

Tergantung darimana mau kita lihat dan apakah hal itu sesuai dengan strategi kita? Kalau kita mengejar kualitas pendengar sebagai strategi untuk mendatangkan revenue (pendapatan), tentu kenaikan jumlah pendengar kelas ekonomi atas akan menggembirakan. Tapi kalau kita ingin mengejar kuantitas pendengar sebagai strategi, tentu saja penurunan pada all people yang tulang-punggungnya adalah kalangan masyarakat kelas CDE, merupakan kabar yang kurang menggembirakan.

Maka sekarang segalanya tergantung kita. Kalau kita memainkan acara-acara ala Tukul, sudah pasti jumlah audience-nya akan banyak. Acara Tukul memang “enak” bagi sebahagian besar masyarakat kita, yang umumnya berada di kelompok kelas sosek (sosial-ekonomi) CDE. Berbeda selera “enak”-nya dengan kelompok masyarakat yang status soseknya AB, yang dari segi jumlah juga memang lebih sedikit.

Perlu disadari oleh kita semua, definisi “enak” antar tingkat sosial dalam masyarakat kita sangat jomplang. Begitu pula antar tingkat intelektual, dan belum lagi antar wilayah. Misalnya antara, wilayah perkotaan (urban) dengan kota-pinggiran (rural-urban) dan pedesaan (rural). Sebagai sebuah “pasar”, masing-masing kelompok sosial tersebut pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri-sendiri. Cukup jelikah kita melihatnya?

No comments:

Post a Comment