Sebuah Seminar - So Behind The Microphone

Headlines Articles

Sunday, October 9, 2011

Sebuah Seminar

Pada suatu hari, seorang mahasiswa sedang mendengarkan ceramah dari seorang pimpinan redaksi sebuah televisi swasta terkenal, dalam sebuah seminar si kampusnya. Isi seminarnya tentang bagaimana cara kerja siaran pemberitaan di stasiun televisinya. Ketika sampai pada aspek membuat / produksi sebuah “news-feature”, ia mendapat pertanyaan dari si mahasiswa, sbb:

“Kenapa sebuah produksi news-feature tentang Topeng Bali yang dibuat oleh siaran National Geographic, jauh lebih menarik untuk ditonton ketimbang news-feature yang sama yang dibuat oleh stasiun TV kita sendiri. Padahal dari sisi “isi”, bukankah Topeng Bali adalah kebudayaan kita? Mengapa sampai orang asing bisa menampilkannya dengan jauh lebih menarik?“

Jawaban dari si pimpinan redaksi televisi swasta terkenal tersebut, sangat mengejutkan, “Itu karena audience kita belum membutuhkan tayangan dengan kualitas seperti itu untuk ditonton. Makanya crew pemberitaan televisi kita sengaja hanya membuat kualitas news-features yang di bawah standar, karena memang begitulah pesanan / selera audience-nya“.

OMG (Oh My God !)

Kejadian di atas disampaikan kepada saya oleh si mahasiswa itu sendiri. Ia merasa tidak puas dengan jawaban si pimpinan redaksi stasiun televisi swasta tersebut, lalu datang kepada saya untuk mendapatkan kepastian apakah jawaban tersebut salah atau benar. Reaksi saya pertama: “Oh My God!”

Seakan tidak percaya, masak seorang pemimpin redaksi sebuah departemen siaran pemberitaan sebuah televisi terkenal memberi penjelasan kepada mahasiswa seperti itu??? Jelas ngawurlah jawabannya.
Dalam buku baku pelajaran tentang komunikasi media massa dijelaskan bahwa salah satu fungsi media adalah dapat “mempengaruhi”. Artinya kalau penonton televisi setiap hari biasa dijejali dengan program-program berkualitas rendah, maka selera mereka pun akan terbentuk sesuai dengan apa yang mereka lihat atau dengar setiap hari. Mereka jadi terbiasa melihat yang buruk sebagai sesuatu yang biasa alias tidak apa-apa atau malah dianggap baik.

Pernah ada karikatur humor, bahwa bagi si Tarzan, karena dari kecil bergaulnya sama monyet terus, maka ketika ia bertemu si Jane yang cantik berambut pirang, tetap saja si Tarzan memilih seorang monyet untuk jadi pacarnya. Karena selera si Tarzan sudah terbentuk akibat setiap hari melihat, berbicara, dan mendengar alias berkomunikasi dengan monyet-monyet.

Lingkaran Setan

Lalu karena selera masyarakat kebanyakan sudah kadung terbentuk dengan kualitas rendah seperti itu, maka kemudian demi tuntutan “rating” agar dapat meningkatkan perolehan iklan, dibuatlah terus program siaran dengan kualitas rendah. Lalu dipakailah alasan, yaa... memang yang begitu itu yang menjadi “pesanan” masyarakat.

Mengapa film-film nasional dipenuhi oleh film Pocong, Kuntilanak, Janda Muda, film esek-esek dsb? Alasannya si produser dan pemilik bioskop sama juga... selera masyarakat memang begini. Kalau bikin film yang bagus, justru ngga ditonton orang.

Jadi memang situasinya seperti telur dan ayam. Kalau mau berubah dengan memberikan mutu maka harus siap rating-nya turun alias tidak ada penontonnya alias tidak akan ada perolehan iklan. Kalau mau banyak penontonnya sehingga perolehan iklannya juga banyak, maka harus membuat tayangan yang berkualitas rendah, jenis tampilan-tampilan konyol seperti yang sering kita lihat di televisi sekarang ini. Apakah tidak ada cara lain?

Jawaban Pertanyaan si Mahasiswa

Pertanyaan: “Kenapa sebuah produksi news-feature tentang Topeng Bali yang dibuat oleh saluran siaran National Geographic, jauh lebih menarik untuk ditonton ketimbang news-feature yang sama, tapi dibuat oleh stasiun TV kita sendiri. Padahal Topeng Bali adalah kebudayaan kita?“

Jawaban: Karena tim produksi dari National Geographic memahami bagaimana “cara bercerita” yang menarik, melalui media televisi (gambar, uraian narasi, suara dan bunyi-bunyian). Jadi sesuatu sajian yang menarik, bukan semata-mata karena isinya menarik, melainkan justru bagaimana penyajiannya. Tim produksi National Geographic pastilah orang-orang yang terjun ke bidang ini dengan berbasis sekolah dan bukan hanya berbekal pengalaman “trial and error” (seperti kebanyakan crew produksi televisi-televisi di Indonesia). Dalam ilmu komunikasi penyiaran, ada beda antara “menyampaikan-pesan” dan “mengkomunikasikan-pesan”. Artinya, tim produksi National Geographic tahu benar bagaimana caranya “mengkomunikasikan-pesan”. Sedangkan yang dilakukan tim produksi dari stasiun televisi kita, hanyalah “menyampaikan-pesan”.

Contoh sepotong kalimat pesan / berita yang hanya sekedar “disampaikan”:

- Angka kelahiran gajah dalam setahun lebih rendah dari angka kematiannya.

Contoh kalimat pesan / berita yang sama, tapi pilihan kata dan susunan katanya dirubah sedemikian rupa, sehingga pesan tersebut bukan hanya “disampaikan”, melainkan menjadi “dikomunikasikan”:

- Dalam satu tahun, lebih banyak gajah yang mati, daripada gajah yang lahir.

Bisakah Anda sekarang merasakan bedanya? Coba perbandingkan dan baca lagi kedua kalimat tersebut di atas, mana yang lebih “menarik” bagi pendengar / pemirsa? Tentu kalimat yang kedua, bukan?

Hal yang sama juga bisa dilakukan dalam halnya rekaman gambar. Misalnya dengan mengatur: sudut pengambilan gambar, pencahayaan-nya, editing-nya, komposisinya dsb. Sehingga rangkaian gambar-gambar yang disajikan dalam siaran, bukan hanya sekedar “menyampaikan” pesan, tetapi yang lebih penting lagi ialah, “mengkomunikasikan” pesan melalui rangkaian gambar-gambar tersebut.

Ringkasnya, kalau kita ingin memproduksi sebuah pesan audio-visual, seharusnya kita mampu mengoptimalkan segala atribut yang dimiliki sebuah media audio-visual, agar pesan tersebut dapat terkomunikasikan dengan sempurna. Pesan yang terkomunikasikan dengan sempurna baik melalui gambar maupun suara, pasti akan lebih menarik.

Kalau “isi”-nya baik, cara memproduksi-nya juga baik, maka penonton televisi akan “terbiasa” dengan tayangan yang baik, dan tetap enak ditonton, karena pesan “dikomunikasikan” dan bukannya hanya “disampaikan”. Sehingga lama-kelamaan kalau sajian tidak baik, maka justru penonton akan lari.

Jadi, kalau saja si pemimpin redaksi stasiun televisi terkenal itu mau jujur kepada diri sendiri dalam menjawab pertanyaan si Mahasiswa, harusnya dia mengakui saja bahwa “ilmu”-nya belum nyampe ke sini dan bukannya berargumentasi bahwa ia memang sengaja membuat hasil produksi-nya di bawah standar, disebabkan memang begitulah adanya, karena harus menyesuaikan dengan pesanan dari pemirsa. (Stupid!).

Tapi pastilaah dia ngga mauu... karena menganggap dirinya udah “jago”....

No comments:

Post a Comment