suara kekuatan radio? - So Behind The Microphone

Headlines Articles

Friday, October 7, 2011

suara kekuatan radio?

Ada sebuah kisah yang boleh jadi bisa dianggap benar mengenai awal mula dilekatkannya istilah “theatre of mind”, atau terjemahan bebasnya mungkin “panggung imajiner”, kepada siaran Radio. Kita kembali dulu ketika media radio masih baru lahir di Amerika Serikat. Pada waktu itu sekitar tahun 1920-an radio-radio di sana banyak memproduksi dan menyiarkan acara-acara drama. Bahkan sebuah radio di Newark “WJZ” pada tahun 1922 menjadi radio pertama yang menyiarkan langsung opera/drama dari teater tari dan nyanyi legendaris di New York, “Broadway”. Bagi para pendengar radio yang mengikuti siaran panggungBroadway dari radio WJZ tersebut, tentu dapat mengikuti dialognya dengan baik dan begitu pula musik serta lagunya. Satu-satunya yang tak dapat mereka ikuti adalah tari-tarian serta kostum dan tata panggungnya yang spektakuler. Walau begitu acara siaran serial opera Broadway melalui radio menjadi sangat populer. Ketika ditanyakan kepada pendengar, mengapa mereka menyukai padahal mereka tidak bisa melihat keindahannya? Jawaban mereka, “Kami tetap dapat "melihat" dalam imajinasi kami melalui suara/musik yang kami dengar”.

Imajinasi dan Suara

Menurut para peneliti, antara lain Prof. Josef Rauschecker, neuro-scientist dari University College, London, proses peng-artian getaran suara (auditory) di otak jauh lebih cepat daripada proses peng-artian getaran gambar (visual). Oleh sebab itulah apabila indera kita menerima signal/stimuli gambar dan signal/stimuli suara dalam waktu bersamaan sekaligus (seperti menonton TV), maka yang terjadi di otak adalah tercipta “gambar imajiner” terlebih dahulu (karena proses getaran auditory sudah selesai, sementara proses getaran visualmasih berlangsung). Baru ketika proses getaran visual selesai, maka digabunglah kedua hasil proses tadi oleh otak untuk peng-artian lengkap. Dengan demikian bisa dikatakan, bahwa “gambar asli” dikonfirmasikan terlebih dahulu terhadap “gambar imajiner” (sebagai referensi yang sudah terbentuk lebih dahulu), baru setelah itu proses peng-artian oleh otak dengan masuknya kedua stimuli tersebut selesai/final.

Nah, apa yang terjadi apabila dalam situasi berikut ini:

(1) Situasi apabila stimuli getaran signal yang masuk hanya auditory saja. Kalau ini yang terjadi maka proses peng-artian oleh otak hanya berhenti pada “gambar imajiner”. Semakin stimuli auditory ditambah, gambar imajiner semakin berkembang. Gambar imajiner jauh lebih kuat tertanam dalam benak, dibandingkan gambar visual/realita.

(2) Kalau kemudian setelah auditory baru muncul visual, maka terjadi proses dua langkah: yaitu suara dan munculnya gambar imajiner yang kuat, lalu melihat gambar visual dalam proses pengartian, yang langsung bisa dibandingkan dengan gambar imajiner.

(3) Situasi apabila stimuli visual yang datang lebih dahulu baru kemudianauditory. Kalau ini yang terjadi maka proses pengartian final akan lebih lama dibandingkan kalau kedua stimuli datang pada waktu bersamaan. Mengapa? Karena harus terjadi tiga langkah proses, yaitu: Pengartian gambar visual yang datang duluan, oleh otak di”tunda” dulu. Yang diproses otak adalah menangkap suara dan memproses gambar imajiner lebih dahulu. Baru setelah itu otak memperbandingkan gambar imajiner dengan gambar visual yang disimpan di-otak. Dan akhirnya baru diartikan oleh otak.

Mengapa gambar imajiner yang muncul belakangan justru dijadikan referensi oleh otak dalam mengartikan gambar visual yang datang duluan? mengapa bukan sebaliknya? Karena gambar imajiner yang terbentuk oleh suara/bunyi, jauh lebih kuat daripada gambar visual. Bunyi/suara mampu men-trigger emosi lebih singkat sehingga lebih masuk ke dalam sanubari. Ringkasnya, dalam otak memproses pesan audio-visual, selalu otak membentuk dulu gambar imajiner secara lengkap akibat suara, barulah gambar visual bisa diperbandingkan dengannya.

Dari penjelasan ringkas tersebut, bisa disimpulkan bahwa dalam hal membentuk gambar imajinasi, suara/stimuli-auditory merupakan hal yang alami dan cepat. Justru dengan adanya gambar/stimuli visual, justru akan menghilangkan imajinasi. Sebagai contoh: Kita semua ketika masih kecil sebelum tidur sering didongengin oleh Ibu kita (stimuli auditory). Dongeng itu berhasil membuat kita berkhayal dan tertidur dalam mimpi yang indah atau terkadang bisa juga malah tidak bisa tidur karena berimajinasi takut akan muncul hantu atau bajak-laut yang mengetuk pintu.

Ketika sudah dewasa, pada suatu malam terdengar suara klotek-klotek di pintu maka walau hanya sekilas, imajinasi masa kecil kita muncul kembali. Lalu kita mengambil lampu senter, bangun dari tempat tidur, melangkah dengan hati-hati untuk mencari sumber bunyi. Setelah ketemu.. ternyata hanya seekor kucing. Buyarlah imajinasi seram-seram yang sudah lebih dulu tercipta itu.

Dari contoh tersebut di atas jelaslah bahwa, stimuli visual (seekor kucing) langsung menghilangkan imajinasi seram-seram kita (yang muncul karenastimuli auditory).

Radio is Sound Only

Media radio, melalui sarana apapun didengarkannya, tetap saja ia merupakan media “suara/bunyi” . Maka salah satu kekuatan yang khas karakter radio adalah justru terletak pada hanya suara saja. Karena dengan hanya suara sajalah bisa tercipta “gambar imajiner yang tak terbatas”. Kemampuan radio untuk menciptakan imajinasi tanpa batas inilah yang sering diistilahkan sebagai “Radio is Theatre of Mind”.

Mengutip kata-kata tokoh periklanan dunia David Ogilvy, “Sebotol Coca-cola dengan ukuran dan bentuk yang tak terbatas, serta dapat berubah-ubah setiap saat, hanya bisa dilakukan oleh Radio. Sedangkan kalau Anda melihat sebotol Coca Cola di Televisi, pasti bentuknya dan warnanya ya seperti itulah.. dan ukuran botolnya paling besar hanya sebesar layar televisi Anda”.

Kalimat ini secara akurat telah menggambarkan bagaimana Radio bisa menciptakan Theatre of Mind, suatu hal yang tak bisa dilakukan oleh media yang dianggap paling lengkap (audio-visual), yaitu televisi.

Sayang sekali, tidak banyak yang menyadari hal ini baik dari kalangan radio sendiri maupun dari kalangan pengiklan/biro iklan (advertisers & advertising agency), yang menganggap TV lebih unggul dari Radio. Padahal masing-masing media punya kekurangan dan keunggulannya masing-masing. Ke-effektif-an media sebetulnya sama saja, tergantung bagaimana cara kita mengoptimalkan karakteristik-nya.

Optimalkan Keunggulan Radio

Para manager dan pekerja radio yang sekarang menjabat posisi tertentu, pada umumnya berasal dari generasi kelahiran tahun 80-an. Generasi ini lahir ketika sarana audio-visual sudah menjadi hal sehari-hari (ingat: Atari/Nintendo/Gameboy). Dan karena visual adalah sesuatu yang lebih “nyata terlihat”, maka daya tarik visual menjadi lebih besar. Akibatnya mereka menyangka bahwa apabila ada dua stimuli (auditory & visual) maka visual adalah yang utama. Padahal gambar imajiner-nya auditory-lah sebagai utama karena itu yang menjadi referensi terlebih dahulu, lalu baru kemudian gambar stimuli visual oleh otak dicocokkan dengan gambar imajiner tersebut.

Menyangka bahwa televisi adalah media yang hebat, inilah yang menyebabkan orang radio sekalipun sering mengambil televisi sebagai acuan. Orang-orang iklan? Apalagi! Mereka hanya berpikir membuat iklan untuk dipasang di televisi, sedangkan buat iklan radio nanti ambil saja dari potongan spot iklan yang buat televisi dengan hanya di rubah-rubah sedikit. Parah ! Tentu saja dengan cara begini, keunggulan media radio menjadi tidak optimal. Bukan medianya yang salah, tetapi cara si pengendara “mengendarai” medianya yang salah. Oleh karena itulah sering saya katakan, membandingkan radio dengan televisi, ibarat membandingkan minuman juice alpukat dan juice jeruk. Kalau buah alpukat dan buah jeruknya benar-benar matang, serta si tukang minuman juice itu pintar meraciknya, maka bagi kita, kedua-duanya sama enaknya dalam rasa yang berbeda.

Mudah2an tahun 2011 akan lebih baik.

No comments:

Post a Comment