Bagaimana agar 'Terselamatkan' ? - So Behind The Microphone

Headlines Articles

Friday, September 28, 2012

Bagaimana agar 'Terselamatkan' ?

Jaman Soekarno di tahun 60-an, yang ada hanya radio & televisi pemerintah. Jaman Soeharto selama kurang lebih 30 tahun , radio swasta boleh, kemudian televisi swasta boleh, tapi siaran beritanya harus relay pemerintah, isi siaran disensor, aturan iklan ketat. Sekarang jaman reformasi, semua boleh. Walau peraturan ada, tetapi pelaksanaan amburadul, boleh dan tidak boleh menjadi tidak jelas. Pelanggaran pun tidak jelas siapa yang memberi sanksi, siapa yang mengeksekusi sanksi. Pokoknya jaman reformasi ini benar-benar jaman paling “edan” dalam dunia broadcasting. Tujuan dari pengusaha broadcasting cuma bagaimana sesama stasiun bisa saling membunuh, padahal harusnya saling bersaing secara sehat sehingga industri bisa terus tumbuh. Tetapi karena situasinya sekarang ini: “siapa yang bayar dia yang benar”, maka industri broadcasting pun klepek-klepek. Gejala-gejala akan semakin ditinggalkan baik oleh masyarakat maupun oleh pengiklan, sudah mulai kelihatan. Bahkan Radio dan TV lokal sudah mulai kehabisan nafas, malah ada yang sudah tutup.

Perbaiki Peraturan

Keadaan yang mencemaskan ini membuat beberapa orang yang “concern” mulai bikin seminar dan diskusi, apalagi terkait dengan agenda DPR yang berencana akan mengubah UU Penyiaran 2002. Tentu saja harapannya bahwa UU yang baik akan membuat iklim usaha di bidang broadcasting akan sehat pula.

Tetapi mari kita menelaah kembali akar persoalannya. Dari jaman VOC (kompeni = penjajah belanda) yang namanya bisnis tetap saja intinya adalah, bagaimana supaya bisa me-“monopoli” agar untung besar. Nah, karena itulah, para pengusaha konglomerat selalu menyuap para pembuat peraturan dan para eksekutor dari peraturan, agar peraturan-peraturan serta pelaksanaannya bisa sesuai dengan keinginan mereka.

Makanya bagi pengusaha biasa, yang “pure” orang broadcasting, tidak bakalan pernah mendapat kesempatan yang adil. Karena kesempatan tersebut bisa diganggu dan diciptakan melalui “uang” dan “kekuasaan”, dua hal yang justru tidak dipunyai oleh pengusaha-pengusaha biasa, melainkan hanya dipunyai oleh para konglomerat.

Oleh sebab itu, kalau arah dan enersi kita difokuskan dan dihabiskan hanya untuk komplain tentang peraturan, maka pastilah akan sia-sia. Apapun UU-nya, apapun peraturannya (dalam segala bidang), kalau Anda tidak punya uang dan tidak dekat dengan para penguasa berwewenang, percuma saja!

Tingkatkan Ilmu

Tapi perlu diingat bahwa konglomerat ini sebenarnya hanyalah para pedagang. Mereka tidak betul-betul tahu tentang bisnis broadcasting, melainkan hanya tahu prinsip-prinsip dagang. Itu sebabnya, cara mereka mengelola televisi atau radio-nya pun ala toko kelontong (lihat tulisan saya di broadcastsukses) . Pedagang toko kelontong, tidak pernah peduli tentang barang yang dijualnya (sebab tugas toko hanyalah menjual), yang penting barang itu laku.

Dalam perjalanan hidup saya  di broadcasting, saya selalu masuk bekerja di perusahaan yang underdog atau bahkan di bawah sekali. Lalu iklim usahanya pun ketika itu juga sama saja, tidak menguntungkan. Jaman orde baru kalau tidak dekat dengan “cendana” berarti bencana.

Tetapi terbukti, selalu saja saya berhasil mengangkat stasiun underdog itu naik, menjadi setingkat dengan stasiun lainnya, dalam hal pendapatan dan keuntungan. Lucunya ketika saya akhirnya tidak disitu lagi, stasiun tersebut kemudian ikut merosot. Dimulai dari menyusutnya pendengar dan kemudian iklan. Padahal penyiar-penyiarnya masih sama, anggota tim lainnya juga masih sama. Kenapa begitu?

Rahasianya terletak pada pengetahuan dan pelaksanaan dari “detail”.

Banyak di antara para pengelola dan para pelaksana siaran tidak menguasai atau bahkan mengabaikan hal-hal detail yang justru sangat prinsip. Coba kita bertanya kepada seorang Program Director atau Program Manager sebuah stasiun penyiaran, apakah yang menyebabkan sebuah acara siaran itu bisa sukses? Pastilah jawabannya sangat klise: ceritanya menarik, artis ceweknya yang berani tampil seronok, cowoknya yang ganteng, lalu harus ada lucunya/bancinya, dsb. Pokoknya semua yang disebutkan adalah hal-hal yang nenek-nenek pikun yang kagak lulus sekolah dasar juga pasti tahu.

Padahal, sukses sebuah acara siaran (radio & TV) tidak pernah dikarenakan satu-dua faktor yang nenek-nenek pikun saja tau, melainkan dikarenakan banyak faktor besar kecil. Faktor-faktor detail seperti ini tidak pernah terlihat oleh mereka yang wawasannya sempit. Boleh-boleh saja mereka-mereka ini kaya dan sekolahnya tinggi, tetapi pengetahuannya tidak multi-lateral. Justru karena itu mereka sangat sulit untuk mau belajar dan memahami hal-hal yang dia kira tak ada hubungannya. Padahal, disitulah essensi-nya.

Contoh 1:
Radio & TV adalah sebuah media komunikasi, bukan? Maka tentu saja, semua prinsip ilmu komunikasi haruslah terlaksana kalau tidak mau siarannya gagal. Salah satu prinsip komunikasi adalah, harus adanya “kesamaan” antara komunikator dengan komunikan-nya. Tetapi kenyataannya, pendengar radio / penonton TV (komunikan) seringkali jauh lebih pintar daripada reporter dan penyiar TV/Radio-nya. Komunikator tidak selevel dengan Komunikan dalam hal intelektualitas dan pengetahuan. Ini yg menyebabkan orang males nonton berita. Jadi bukan karena penyiarnya cantik atau tidak cantik.

Contoh 2:
Kepada siapakah radio & TV berkomunikasi? Kepada manusia, bukan? Manusia membutuhkan pertimbangan aspek psikologis dalam berkomunikasi. Maka dalam ilmu psikologi-komunikasi, ada yang namanya komunikasi ruang (proxemics), dimana ada wilayah-wilayah yang sensitif terhadap komunikasi pihak luar. Di sini antara lain termasuk sopan-santun dan etika bicara, dimana untuk setiap kelompok masyarakat masing-masing memiliki perbedaan. Sering sekali kita mendengar penyiar radio atau penyiar televisi atau sinetron menggunakan kata, nada suara serta kalimat yang membuat rasa tidak nyaman (atau risih) di hati publik. Kalau sudah begini, ya pindah saluran.

Contoh 3:
Ketika menyajikan sesuatu buat publik, para program director atau news director tidak benar-benar tahu (mereka hanya menggunakan feeling) apakah memang acara ini akan diminati / disukai publik atau tidak. Padahal dalam ilmu komunikasi hal seperti ini jelas ada ilmunya. Maka tidak heran, seringkali mereka memasang berita atau memutar lagu yang menurut feeling mereka, publik akan suka, padahal kenyataannya publik sudah mau muntah mendengar berita begituan atau lagu yang itu lagi itu lagi.

Kesimpulan:
Kalau TV & Radio mau survive dalam situasi apapun, dengan peraturan yang bagaimanapun, resepnya cuma satu: tingkatkan diri dengan ilmu yang benar. Lakukan apa yang “Important”, sambil sesekali melakukan apa yang “Urgent”.