Senjata "SENSASI - So Behind The Microphone

Headlines Articles

Sunday, September 30, 2012

Senjata "SENSASI

Kalau Anda perhatikan belakangan ini, hampir semua media komunikasi massa yang berusaha menjangkau publiknya, menggunakan hanya satu strategi saja, yang bernama “sensasi“. Lihat saja, bagaimana cara siaran pemberitaan di televisi, pasti harus sensasional. Apakah itu acara talk-show, editorial, diskusi panel, dsb. Sepertinya kalau tidak sensasional tidak hebat.

Headlines di koran juga sama, bunyinya harus sensasi. Makanya koran-koran jaman sekarang, hampir semuanya memakai headlines gaya koran Pos Kota jadul. Headlines yang sensasionil di halaman pertama. Sinetron, film, dagelan, presenter, semuanya harus “heboh”, tujuannya untuk menimbulkan sensasi. Lihat pula bagaimana headline iklan-iklan disekitar kita: “Rahasia jadi kaya dalam 3 jam”; “Cara membuat uang mengejar Anda”; “Pensiun muda kaya raya” dsb. dsb. Calon-calon artis yang ingin terkenal (dan juga yang sudah terkenal), sibuk melakukan sesuatu agar menimbulkan sensasi. Seolah-olah kalau sajian atau isnya tidak punya nilai sensasi maka dianggap tidak hebat, tidak bagus, tidak laku, ..pokoknya gagal ajah!

Sensasional

Menurut kamus besar, Sensasional itu sebuah tindakan/cara yang disengaja, mengandung aspek yang kontroversiel, agar menonjol, bertujuan memperoleh perhatian seketika. Jadi jelas, cara sensasi sangat efektif dipakai untuk jualan/menarik perhatian. Hanya satu yang rawan dari sensasi adalah “kontroversiel-nya”, agar menonjol. Artinya, dia akan melakukan sesuatu dengan sengaja, yang berbenturan dengan norma/pandangan/kebiasaan yang lazimnya berlaku di masyarakat, demi menonjol. Nah, ini yang sering luput dari pikiran dan pertimbangan orang-orang yang ingin ber-sensasi-ria, karena hanya bernafsu ingin memperoleh perhatian semata.

Misal: TV-One memberitakan: Wanita Muslimah Pertama jadi Miss USA (Rima Fakih). Lalu ditampilkan gambarnya rambut terjurai, baju ketat, belahan baju sangat rendah hingga sebahagian payudara menonjol jelas. Jelas hal ini kontroversiel dengan ajaran cara berpakaiannya muslimah pada umumnya. Sengaja mereka meletakkan kata “muslimah”. Dampak negatifnya, misal: (1) Waah ini propaganda Amerika untuk mengambil hati negara-negara muslim. (2) Waah ini menghina kaum muslim, khususnya muslimah. (3) Wah ternyata muslim boleh begitu ya berpakaiannya. dsb. dsb.

Padahal dalam berita aslinya dari Amerika Serikat, sama sekali tidak “menekankan” apa agamanya, karena memang tidak ada hubungannya agama seseorang dengan pencapaian gelar Miss USA yang diraihnya. Agama bukan termasuk kriteria penjurian.

Cara memberitakan seperti ini, kalau kita mengacu kepada definisi, adalah gaya pemberitaan sensasional. Si redaktur berita tentu berpikir, karena Indonesia adalah negara dengan populasi muslim yang besar, maka kita tonjolkan saja agama si Miss USA yang muslim. Dengan begitu pasti akan menarik perhatian sebahagian besar publik kita (yang kebanyakan juga muslim). Begitu otaknya si redaktur. Jadi, jelas sekali, kesengajaannya guna memperoleh perhatian, dengan menonjolkan sesuatu yang kontroversiel. Lanjutannya, kalau perhatian publik besar, maka siaranku dapat rating tinggi, atau koranku akan naik oplag-nya alias lebih menarik buat pemasang iklan, alias daganganku laku.

Dengan pola-pikir beginilah maka semua ramai-ramai berlomba mencari-cari sesuatu yang sensasional untuk ditampilkan. Kalau tidak ada, ya diada-adain aja, supaya laku. Kalau ngga, ntar boss marah-marah lageeh..

Apa Salahnya?

Sensasional tentu bukan sesuatu yang salah, karena cocok dengan ketentuan News Value. Tetapi, karena sensasional itu selalu mencari “angle” kontroversiel, maka seyogyanyalah berita sensasional tersebut, sebelum dipublikasikan dipertimbangkan dahulu dampaknya. Bukankah sesuatu info yang kontroversiel itu sudah bisa dipastikan akan menghasilkan dampak negatif pula selain dampak positifnya? Naaah, selama itu sudah dipertimbangkan sejak awal, maka tinggal kita upayakan agar dampak negatifnya bisa di-eliminir. Untuk itu tentu bisa kita atur secara kreatif bagaimana cara menyampaikan beritanya.

Masalah dalam cara penyiaran yang amburadul sekarang ini memang ada dua hal: Pertama. Memang sengaja mau bikin kehebohan. Karena dengan kehebohan rating pemberitaan akan semakin tinggi. Ujung-ujungnya pemasang iklan akan lebih banyak. Kedua. Karena ilmu yang mereka miliki cuma segitu. Mereka tidak tahu atau tidak bisa menggunakan ilmu lainnya agar bisa menarik. Sebenarnya ada banyak cara lain untuk meningkatkan rating alias banyak cara untuk membuat berita/acara siaran yang bisa menarik publik.

Lebih parahnya lagi, mereka bangga (seharusnya malu!) dengan apa yang dilakukannya saat ini. Sehingga, karena merasa sudah hebat, maka tak ada kemauan untuk belajar meningkatkan ilmu bagi dirinya sendiri, dan bagi kualitas siarannya.

Coba lihat sendiri bagaimana televisi ternama di dunia dalam menyiarkan materi-materi acaranya termasuk berita (Al Jazeera; BBC dsb.) , tidak sensasional, malah banyak nilai tambah bagi masyarakat yang mengikutinya. Lihat bagaimana koran Kompas menampilkan berita-beritanya, termasuk pemberitaan tentang Miss USA, Rima Fakih. Sungguh sangat berkelas. Jauh banget dengan cara koran-koran Indonesia lainnya menampilkan berita. Dan toch, mereka-mereka media yang berkelas ini, justru sukses dan langgeng pula dalam bisnisnya.

Masyarakat Perlu Dididik

Rating sering jadi alasan. Makanya mereka bilang, habis mau bagaimana, masyarakat senangnya seperti itu? Betul tapi salah!

Kalau anak Anda sukanya makan permen/coklat yang manis-manis, apakah artinya Anda akan terus memberikan permen/coklat kepada anak Anda? Tentu tidak! Karena Anda tahu bahwa permen akan merusak giginya, akan menyebabkan obesitas, akan meningkatkan kadar gula dalam darah dsb. dsb. Pastilah Anda mencari jalan agar si anak tidak lagi atau sedikit demi sedikit mengurangi makan permen. Anda menggunakan berbagai cara kreatif agar anak Anda merubah kelakuannya tetapi tetap menyayangi Anda sebagai orang-tuanya. Anda mendidiknya, bukan? Lalu kenapa Anda tega tidak mendidik masyarakat kita dengan memberikan terus menerus “permen” yang mereka suka tapi tak baik buat mereka? Hanya karena mereka “orang lain”, bukan anak Anda? Banyak cara kreatif membuat acara yang dapat memberi dampak positif dan tetap disukai oleh penonton dan pemasang iklan, tanpa harus sensasional, tanpa harus kontroversi, tanpa harus menampilkan selera rendah. Banyak cara membuat promosi tanpa harus menipu masyarakat dengan kata-kata yang jelas tak mungkin, sensasional, tapi sengaja digunakan hanya karena masyarakat kita banyak yang masih bodoh dan tertekan oleh kemiskinan.

Kita sebagai broadcaster wajib memajukan pola pikir dan wawasan masyarakat kita. Karena dengan masyarakat Indonesia yang maju dan sejahteralah, anak cucu kita nantinya juga akan hidup lebih sejahtera dari kita-kita sekarang ini.

Kecuali kalau para pemilik televisi, radio, dan para pengiklan, ingin anak cucunya tidak lagi tinggal di Indonesia, melainkan di Amerika, Singapore, Malaysia, Eropa, China dsb. dsb. Kayaknya sih begitu?