Peran Waria dan Prica dalam Industri Broadcasting - So Behind The Microphone

Headlines Articles

Wednesday, October 10, 2012

Peran Waria dan Prica dalam Industri Broadcasting

Inspirasi tulisan ini datang dari Sdr. Kiev seorang FM radio broadcaster di Bandung. Ia rupanya seorang pengunjung setia blog behind the microphone. Seperti juga kebanyakan anggota masyarakat kita, ia merasa risih melihat semakin banyaknya penampilan PRICA (PRIa CAntik) dan WARIA (WAnita pRIA) di tayangan televisi kita (ini yang memang jelas terlihat, tetapi kalau GALAK = GAdis-LAki, tak kasat mata terlihat). Tiap malam kita kenali betul gerakan khas sikap tubuh para Prica & Waria yang genit banget itu dan ketika berbicara, kita kenali pula gaya berbicaranya yang kenes dengan banyak nada sengau (dengung ke hidung). Nah nada bicara kenes dan sengau ini sekarang sudah banyak juga bermunculan di siaran radio, dan... melalui suara di radio, terbayang pula gerakan khas tubuh genit mereka yang sudah kita kenali dari siaran televisi.

Argumen para produser acara Radio-TV dan Production House selalu mengatakan bahwa tampilan dan peran kebanci-bancian ini justru menghasilkan rating dengan perkataan lain memang banyak audience yang menonton/mendengarnya.

Trio Los Gilos

"Trio Si Gila", ini nama trio pelawak yang beken sekali di dekade 60 - awal 70 di RRI dan kemudian TVRI. Mereka terdiri dari seniman besar Bing Slamet - Eddi Sud - Mang Udel (Drs. Purnomo). Salah satu yang menjadi daya tarik kelucuan trio ini justru terletak pada peran "banci" yang selalu diperankan oleh Bing Slamet (beliau adalah ayahanda dari Adi dan Iyut Bing Slamet. -pen). Jadi sudah sejak dulu dalam siaran radio dan televisi kita, pemunculan peran "banci" selalu menghasilkan rating/jumlah audience yang banyak. Jadi ini sudah menjadi semacam formula sukses. Dulu hal ini belum menjadi masalah, karena stasiun radio cuma ada RRI dan stasiun televisinya cuma ada TVRI dan keduanya dibiayai pemerintah sehingga tak ada persaingan acara dan perebutan rating. Tetapi sekarang dalam rangka persaingan makin sering dan makin banyaklah Prica & Waria dengan segala ulahnya muncul dan terdengar hampir setiap hari di siaran-siaran televisi dan radio.

Umumnya peran atau gaya penampilan yang ditonjolkan (si Prica dan Waria) baik di televisi maupun radio adalah peran komedi. Jadi, selalu dengan gerakan dan gaya bicara yang agak dilebih-lebihkan.

Gerakan Tubuh dan Gaya Bicara Prica & Waria

Kalau anda kebetulan membawa anak anda jalan-jalan ke kebun binatang, maka biasanya binatang yang paling sering membuat anak kita terpesona dan seringkali membuat ia tertawa atau bahkan membuat si anak ingin gemes, justru binatang monyet atau simpanse. Mengapa? Karena monyet dan simpanse memang mirip dengan si anak tapi jelas berbeda. Ini merupakan analogi untuk menjelaskan bahwa sesuatu yang mirip saya atau Anda tetapi berbeda, justru akan mengundang perhatian, senyum, dan tawa saya dan Anda.

Salah satu penyebab mengapa para Prica & Waria penampil itu berhasil menarik penonton/pendengar, justru karena penampilan fisiknya "mirip pria" dan atau "mirip wanita", tetapi ulah mereka "tak lazim/aneh/unik", baik dari sisi pandang pria maupun sisi pandang wanita. Gerakan tubuh dan gaya bicara yang berlebihan mengundang tawa. Makanya, rating naik.

Sigmund Freud tentang Humor

Bapak psikologi dunia Sigmund Freud memiliki teori tentang humor. Menurut Freud, semakin "tragis" situasinya maka akan semakin lucu humor itu. Posisi "banci" adalah posisi yang "tragis" bukan? (Status gendernya tak sesuai dengan fisiknya). Freud juga bilang bahwa humor akan semakin bertambah lucu apabila yang menjadi objek adalah orang yang menjadi "lawan". Penelitian membuktikan bahwa humor tentang wanita akan dianggap lebih lucu di kelompok pria ketimbang humor tentang pria. Begitu juga humor tentang pria akan lebih lucu bagi kelompok wanita daripada humor tentang wanita. Jadi sekarang, kalau yang menjadi objek kelucuan adalah banci (cowo bukan cewe bukan) dan jalan ceritanya tragis, maka pasti akan lucu bagi kelompok pria dan lucu pula bagi kelompok wanita. Makanya, rating naik.

Apa Dampaknya Terhadap Masyarakat?

Kekhawatiran masyarakat sebenarnya adalah kekhawatiran para ibu dan bapak terhadap anak-anaknya. Mereka khawatir anak-anaknya "terpengaruh" dan akhirnya menjalani hidup sebagai banci atau homoseks. Tulisan saya yang lalu berjudul "Penjagal dari Jombang" telah membahas, bahwa seandainya seluruh pria menjadi gay dan seluruh wanita menjadi lesbian, maka spesies manusia akan punah dari muka bumi. Jadi semakin banyak tendensi orang menjadi homoseks, artinya semakin besar potensi kepunahan spesies manusia. Ini yang harus diwaspadai. Tayangan dan penampilan para Prica & Waria di dunia broadcasting yang semakin sering ini dikhawatirkan seperti mempromosikan homosexuality.

Penelitian Professor David Neal, Wendy Wood, dan Jeffrey M. Quinn dari Department of Psychology, Duke University - Durham, UK (2006) mengindikasikan bahwa "banyak dari karakteristik perilaku keseharian kita dibentuk oleh Pengulangan-Pengulangan Pembiasaan".
Artinya bisa disimpulkan, apabila (tanpa mendapat kontra informasi yang bisa menetralisir) gaya kebancian ini terus menerus disaksikan dan didengar setiap hari oleh anak-anak kita (mulai dari usia 3 tahun sampai 20 tahun), berulang-ulang dan begitu juga pada keesokan harinya, maka akhirnya pada diri mereka akan tertanam bahwa penampilan, cara bicara, gerakan dan sifat banci (homo) adalah sesuatu yang wajar (bukan lagi sesuatu yang tak lazim. Maka selanjutnya tinggal tunggu saja bahwa banci akan menjadi karakteristik dari anak-anak kita di masa depan. Inilah yang banyak dikhawatirkan.

Bisakah Menarik Audience Tanpa Peran Banci?

Memang bangsa kita ini senangnya hanya mau "instant" untuk sukses. Maka selalu pilih cara gampangan yang dipakai walau dampaknya bisa merusak. Tertipu pula oleh promosi-promosi menampilkan cara gampangan yang jelas-jelas tak masuk akal. Pola pikir begini pula yang sedang merasuki dunia siaran, "Bukankah sineteron komedi kalau ada tokoh banci bisa menghasilkan rating, maka semua acara kita pasangin cilukba, yuk ! (cilukba = banci lucu agak ba...).

Film Batman, menarik penonton karena "ketegangan" yang dibangun melalui peran "kesadisan" oleh Joker dan "kehebatan" akan tokoh Batman melalui "teknologi" . Maka sukses ini pasti akan ditiru pula oleh produser film lain di Hollywood. Tapi bukan akan meniru sukses ini dengan membuat film ala Batman lagi, melainkan justru ia akan membuat film yang sama sekali berbeda (misal tentang rumah tangga) namun juga menonjolkan hal yang sama yaitu, "ketegangan" melalui tokoh anak yang dibangun oleh peran "kesadisan" tokoh Ayah, dan "kehebatan" pada tokoh Ibu yang dimunculkan via teknologi komputer. Maka film "tiruan" ini juga akan berhasil menarik audience. Jadi tidak perlu meniru dengan bikin Batman lagi, 'blog!

Tetapi untuk bisa begini, ya.. tak bisa instant, tetapi harus berpikir keras dan kreatif. Jadi dalam kasus kita, seyogyanya para produser menyelidikilah dulu apa daya tarik dari si banci terhadap audience, barangkali keanehan/ketidak-lazimankah, kebawelan-kah, kekonyolan-kah? Maka kalau "ya" tinggal kita kita berpikir keras dan kreatif, lalu ciptakan cerita dan tokoh lain yang juga aneh, bawel, konyol tapi tidak harus banci atau bahkan tidak harus manusia. Dijamin ini akan sama berhasilnya. Ingat, penonton/pendengar bukannya suka dengan si banci, tetapi suka dengan keanehan/keunikan/kebawelan/kekonyolan. Jadi ada ilmunya, bahwa media masih tetap bisa menghasilkan penonton/pendengar walau tanpa menampilkan banci.

Perkecil Risiko dengan Korbankan Kemampuan

"Membuat acara dengan pemeran Prica & Waria sudah terbukti laris manis. Lalu ngapain membuat yang lain yang belum pasti. Risiko dong ", kata produser acara. Agar sebuah acara bisa berhasil sebenarnya banyak sekali faktornya. Tetapi kebanyakan dari produser Indonesia, hanya menitikberatkan pada faktor Pemeran dan Jenis/Thema Cerita. Faktor-faktor lain seperti, penyajian/penuturan cerita (story telling) , tata cahaya, tata suara, teknologi (yang pas), gerakan bermakna dari kamera, dsb. semua ini seperti di nomer-duakan, karena memang memerlukan technical skill yang lebih tinggi. Orang Indonesia sih banyak juga yang mampu.. tapi produser yang tidak mau, karena akan membuat biaya produksi meningkat (membayar orang pandai harus lebih mahal). Maka yang paling praktis ya.. bermain disisi pemeran saja. Pakailah artis muda yang baru ditemukan, baru datang dari desa, sehingga bayarannya murah dan gampang diakalin karena lagi masih kepingin beken. Aktingnya tak bagus tak mengapa, asal di dalamnya nanti ada peran banci dan wanita berpakaian super ketat, pasti laku juga di penonton.

Dengan cara pertimbangan beginilah maka kalau artis itu sudah semakin bagus, semakin beken, semakin matang, dan semakin berkualitas maka justru akan tidak dipakai, karena sudah mahal (contoh: Dian Sastro sudah agak jarang dipakai untuk main sinetron).

Oleh karena itulah untuk mengecilkan risiko rugi, bukan kualitas yang ditingkatkan tetapi biaya ditekan serendah mungkin, dengan cara memotong pula kemampuan dan kualitas produksi, dan menggantikannya dengan unsur-unsur selera rendah seperti banci, vulgar/seronok dan seks. Begitu cara mereka menghasilkan rating dan laba, dengan rumus biaya produksi murah, keuntungan bisa optimal, dan penontonnya banyak. Penonton yang mana duuluu.... Garing!